Senin, 01 Oktober 2012
Bahaya Makanan dan Minuman Instan
Ada begitu banyak makan dan minuman instan yang dijual di berbagai tempat.Begitu mudah dan enaknya kita tinggal menelan atau meminumnya tampa repot repot mengolahnya.Namun di balik itu semua, ada bahaya yang tengah mencengeram kita.Kalau kita terlalu sering mengkonsumsinya, maka penyakit ginjal sudah menanti.Contoh yang sangat nyata jika melihat pasien sangat belia di RS Abdul Muluk Lampung.Ada beberapa pasien yg umurannya sekitar smp yang sudah cuci darah satu minggu 2 kali. Rata-rata penyebabnya adalah seringnya mengkonsumsi makanan atau minuman instan. Olehkarena itu jika kita punya anak atau sayang ama anak-anak, kita harus ekstra hati-hati agar anak-anak jangan terlalu sering mengkonsumsinya.
Kamis, 30 Agustus 2012
Gagal Ginjal
A. PENGERTIAN
Gagal ginjal kronik biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626)
Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan pemulihan fungsi tidak dimulai. Pada kebanyakan individu transisi dari sehat ke status kronis atau penyakit yang menetap sangat lamban dan menunggu beberapa tahun. (Barbara C Long, 1996; 368)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448)
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812)
B. ETIOLOGI
Penyebab GGK termasuk glomerulonefritis, infeksi kronis, penyakit vaskuler (nefrosklerosis), proses obstruksi (kalkuli), penyakit kolagen (luris sutemik), agen nefrotik (amino glikosida), penyakit endokrin (diabetes). (Doenges, 1999; 626)
Penyebab GGK menurut Price, 1992; 817, dibagi menjadi delapan kelas, antara lain:
• Infeksi misalnya pielonefritis kronik
• Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
• Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
• Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
• Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal
• Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
• Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
• Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
C. PATOFISIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga stadium yaitu:
• Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal)
Di tandai dengan kreatinin serum dan kadar Blood Ureum Nitrogen (BUN) normal dan penderita asimtomatik.
• Stadium 2 (insufisiensi ginjal)
Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (Glomerulo filtration Rate besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini Blood Ureum Nitrogen mulai meningkat diatas normal, kadar kreatinin serum mulai meningklat melabihi kadar normal, azotemia ringan, timbul nokturia dan poliuri.
• Stadium 3 (Gagal ginjal stadium akhir / uremia)
Timbul apabila 90% massa nefron telah hancur, nilai glomerulo filtration rate 10% dari normal, kreatinin klirens 5-10 ml permenit atau kurang. Pada tahap ini kreatinin serum dan kadar blood ureum nitrgen meningkat sangat mencolok dan timbul oliguri. (Price, 1992: 813-814)
D. MANIFESTASI KLINIS
1. Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
2. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
3. Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Sistem kardiovaskuler
• Hipertensi
• Pitting edema
• Edema periorbital
• Pembesaran vena leher
• Friction sub pericardial
b. Sistem Pulmoner
• Krekel
• Nafas dangkal
• Kusmaull
• Sputum kental dan liat
c. Sistem gastrointestinal
• Anoreksia, mual dan muntah
• Perdarahan saluran GI
• Ulserasi dan pardarahan mulut
• Nafas berbau amonia
d. Sistem muskuloskeletal
• Kram otot
• Kehilangan kekuatan otot
• Fraktur tulang
e. Sistem Integumen
• Warna kulit abu-abu mengkilat
• Pruritis
• Kulit kering bersisik
• Ekimosis
• Kuku tipis dan rapuh
• Rambut tipis dan kasar
f. Sistem Reproduksi
• Amenore
• Atrofi testis
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Suyono (2001), untuk menentukan diagnosa pada CKD dapat dilakukan cara sebagai berikut:
1. Pemeriksaan laboratorium
Menentukan derajat kegawatan CKD, menentukan gangguan sistem dan membantu menetapkan etiologi.
2. Pemeriksaan USG
Untuk mencari apakah ada batuan, atau massa tumor, juga untuk mengetahui beberapa pembesaran ginjal.
3. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia dan gangguan elektrolit
F. PENCEGAHAN
Obstruksi dan infeksi saluran kemih dan penyakit hipertensi sangat lumrah dan sering kali tidak menimbulkan gejala yang membawa kerusakan dan kegagalan ginjal. Penurunan kejadian yang sangat mencolok adalah berkat peningkatan perhatian terhadap peningkatan kesehatan. Pemeriksaan tahunan termasuk tekanan darah dan pemeriksaan urinalisis.
Pemeriksaan kesehatan umum dapat menurunkan jumlah individu yang menjadi insufisiensi sampai menjadi kegagalan ginjal. Perawatan ditujukan kepada pengobatan masalah medis dengan sempurna dan mengawasi status kesehatan orang pada waktu mengalami stress (infeksi, kehamilan). (Barbara C Long, 2001)
G. PENATALAKSANAAN
1. Dialisis (cuci darah)
2. Obat-obatan: antihipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat, suplemen kalsium, furosemid (membantu berkemih)
3. Diit rendah protein dan tinggi karbohidrat
4. Transfusi darah
5. Transplantasi ginjal
H. PATHWAY
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien CKD adalah:
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat.
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem sekunder: volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O.
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah.
4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder, kompensasi melalui alkalosis respiratorik.
5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan menurun.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan.
J. INTERVENSI
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
Tujuan:
Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil :
mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b. Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
b. Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan
d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output
3.Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil: menunjukan BB stabil
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
c. Beikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
e. Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan
4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis
Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil :
- Mempertahankan kulit utuh
- Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit
Intervensi:
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
c. Inspeksi area tergantung terhadap udem
R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
d. Ubah posisi sesering mungkin
R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk menurunkan iskemia
e. Berikan perawatan kulit
R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit
f. Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritis
R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan
Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi
Intervensi:
a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
b. Kaji fektor yang menyebabkan keletihan
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai Penerbit FKUI
Gagal Ginjal Kronik
Muhammad
Sjaifullah Noer, Ninik Soemyarso
PENDAHULUAN
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah keadaan
dimana terjadi penurunan fungsi ginjal secara progresif, terdiri dari GGK
ringan, sedang, berat sampai gagal ginjal terminal atau tahap akhir. Penurunan
fungsi ginjal terjadi sesuai dengan penurunan jumlah dari massa ginjal (tabel
1). Fungsi ginjal dinyatakan sebagai laju filtrasi glomerulus (LFG) (1)
Tabel 1.
Pembagian gagal ginjal kronik
|
Massa
ginjal yang masih berfungsi(%)
|
LFG
ml/menit/1.73m2
|
Gejala-gejala
|
Gagal ginjal ringan
|
50 – 25
|
80 – 50
|
Asimptomatik
|
Gagal ginjal sedang
|
25 – 15
|
50 – 30
|
Gangguan metabolik dan pertumbuhan
|
Gagal ginjal berat
|
15 – 5
|
30 – 10
|
|
Gagal ginjal terminal
|
< 5
|
≤ 10
|
Membutuhkan
terapi pengganti ginjal
|
Dikutip
dari Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in
children. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical paediatric nephrology 3rd
ed. Oxford University Press New York., 2003 : 428
ANGKA KEJADIAN
Angka kejadian gagal ginjal kronik sulit
ditentukan secara pasti. Pada tahun 1999, di United Kingdom diperoleh data 53,4
per 1 juta anak mengalami terapi pengganti ginjal di mana 2,4% terjadi pada
umur kurang dari 2 tahun, 6,4% pada umur 2-5 tahun, 20,5% pada umur 5-10 tahun,
41,2% pada umur 10-15 tahun dan 29,5% pada umur 15-18 tahun (1).
Data GGK di Indonesia belum diketahui secara pasti. Di RSCM Jakarta dilaporkan
21 dari 252 anak yang menderita penyakit ginjal kronik (2).
PENYEBAB
Penyebab terjadinya GGK bermacam-macam. Namun
terdapat tiga penyebab utama GGK pada anak yaitu kelainan kongenital, kelainan
herediter, dan glomerulonefritis. Macam macam penyebab GGK adalah sebagai
berikut : kelainan kongenital, kelainan herediter, glomerulonefritis, penyakit
multisistem (lupus eritematosus, henoch schoenlein, hemolitic urmic syndrome), misscelaneous
(penyakit neuromuskuler, tumor ginjal, syndroma drash). (1)
PATOFISIOLOGI
Ginjal mempunyai fungsi yang sangat penting
yaitu menghasilkan hormon-hormon misalnya eritropoitin, vitamin D3 aktif, membersihkan
toksin hasil metabolisme dalam darah, mempertahankan keseimbangan cairan,
elektrolit, dan asam basa, serta memegang peranan untuk mengontrol tekanan
darah(3). Pada gagal ginjal kronik, ginjal tidak mampu menjalankan
beberapa atau semua fungsi tersebut di atas. Penyebab utama gangguan fungsi
ginjal tersebut oleh karena berkurangnya massa ginjal oleh karena kerusakan
akibat proses imunologis yang terus berlangsung, hiperfiltrasi hemodinamik
dalam mempertahankan glomerulus, diet protein dan fosfat, proteinuria persisten
serta hipertensi sistemik(3). Berkurangnya massa ginjal akibat
kerusakan tersebut, akan menyebabkan terjadinya hipertrofi dan hiperfiltrasi
dari massa ginjal yang tersisa. Akibatnya akan terjadi hipertensi pada massa ginjal
tersebut yang dapat menyebabkan sklerosis glomerulus serta fibrosis dari
jaringan interstitial(3,4).
Ginjal mempunyai kemampuan yang besar untuk
melakukan kompensasi. Bila massa ginjal berkurang 50%, maka gejala-gejala pada
GGK masih belum terlihat. Gejala-gejala GGK mulai tampak bila massa ginjal
berkurang 50% sampai 80% misalnya uremia(3).
Uremia merupakan kumpulan gejala akibat
terganggunya beberapa sistem organ sebagai akibat penimbunan toksin dari
metabolisme protein(3). Tanda-tanda terjadinya gagal ginjal kronik
yaitu adanya ginjal yang mengecil dari foto X-Ray, osteodistrofi ginjal,
neuropati perifer serta terjadinya uremia(3).
Terjadinya osteodistrofi ginjal sebagai akibat
terjadinya hiperparatiroid sekunder. Pada GGK terjadi penurunan LFG, akibatnya
terjadi hiperfosfatemia yang akan merangsang kelenjar paratiroid untuk
memproduksi hormon paratiroid. Di samping itu pada GGK terjadi penurunan
aktifitas enzim 1 α-hidroxylase akan menyebabkan terjadinya hipokalsemia
dan hiperfosfatemia. Keadaan ini juga akan merangsang kelenjar paratiroid untuk
memproduksi hormon paratiroid. Ada dua macam bentuk osteodistrofi ginjal yaitu
osteitis fibrosa cystica yang ditandai dengan peningkatan aktifitas osteoclast
atau osteomalacia yang ditandai dengan penurunan aktifitas mineralisasi tulang
(3).
Neuropati yang terjadi lebih bersifat sensoris
dengan gejala timbulnya paraesthesia serta “sindroma restless leg”. Pada GGK
terjadi anemia normokromik normositik, akibat penurunan produksi eritropoitin
yang dalam keadaan normal diproduksi di endotel kapiler peritubular (3).
Pada gagal ginjal terminal merupakan fase akhir progresifitas dari gagal ginjal
kronik. Penderita mengalami kerusakan massa ginjal dalam jumlah sangat besar
sehingga untuk mempertahankan fungsi ginjal memerlukan terapi pengganti ginjal
baik dialisis atau transplantasi (3).
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis pada GGK dapat disebabkan oleh
penyakit yang mendasari maupun akibat dari GGK sendiri yaitu : (1,2,5,6,7,8)
- Kegagalan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
- Penumpukan metabolit toksik atau toksin uremik
- Kekurangan hormon yang diproduksi di ginjal yaitu eritropoietin dan vit. D3 aktif
- Respon abnormal dari end organ terhadap hormon pertumbuhan
DIAGNOSIS (1,6)
Untuk menegakkan
diagnosa GGK, anamnesis merupakan petunjuk yang sangat penting untuk mengetahui
penyakit yang mendasari. Namun demikian pada beberapa keadaan memerlukan
pemeriksaan-pemeriksaan khusus. Pemeriksaan yang diperlukan untuk mengetahui
beratnya GGK adalah sebagai berikut :
·
Darah lengkap : hemoglobin, leukosit, trombosit,
differential count, hapusan darah.
·
Kimia darah :
o
Serum elektrolit (K, Na, Ca, P, Cl), ureum,
kreatinin, serum albumin, total protein, asam urat.
o
Analisa gas darah
o
Kadar hormon paratiroid
·
Pemeriksaan urin : albumin/protein, sedimen urin.
·
Laju Filtrasi Glomerulus, dapat ditentukan dengan
menggunakan rumus Haycock-Schwartz
LFG
= ( K x h )
Pcr
o
LFG : Laju Filtrasi Glomerulus
o
K : konstanta sesuai dengan tinggi badan dan massa
otot
o
h : tinggi badan dalam cm
o
Pcr : kadar kreatinin dalam plasma (µmol/L atau
mg/dL)
o
Nilai K berbeda menurut umur
Umur
|
Pcr (mg/dL)
|
Preterm
|
0,27
|
Neonatus
|
0,37
|
Bayi ( 0-1 th )
|
0,45
|
Anak ( 2-12 th)
|
0,55
|
Perempuan ( 13-21
th )
|
0,55
|
Laki-laku ( 13-21
th)
|
0,70
|
- Foto tangan kiri dan pelvis untuk mengetahui bone age serta terjadinya osteodistrofi ginjal.
- Thorax foto, elektrokardiografi (EKG) dan echocardiografi untuk mengetahui terjadinya hipertrofi ventrikel.
- Pemeriksaan khusus yang diperlukan sesuai dengan penyakit yang mendasari :
- Ultrasonografi ginjal
- Voidingcystourography
- Radioisotop-Scans
- Antegrade pressure flow studies
- Intravenous urogram
- Urinalisis
- Pemeriksaan mikroskop urin, kultur
- Komplemen C3, C4, antinuklear antibodi, anti DNA antibodi, anti GBN antibodies, ANCA
- Biopsi ginjal
PENGOBATAN (1,2,3,4,6,9)
Penanganan penderita GGK meliputi penanganan :
- Penyakit yang mendasari
- Keadaan sebelum mencapai gagal ginjal terminal
- Gagal ginjal terminal
Penanganan penyakit yang mendasari misalnya
pengobatan glomerulonefritis, reflux nefropati, uropati obstruktif, serta
penyakit-penyakit sistemik yang mendasari.
Penanganan sebelum penderita mencapai gagal
ginjal terminal meliputi :
- Pengobatan secara konservatif
a) Pengobatan secara simptomatis, yaitu mengurangi gejala uremia seperti mual,
muntah
b) Mengusahakan kehidupan penderita menjadi normal kembali, sehingga dapat
melakukan aktifitas seperti sekolah dan kehidupan sosial
c) Mempertahankan pertumbuhan yang normal
d) Menghambat laju progresifitas menjadi gagal ginjal terminal
e) Mempersiapkan penderita dan keluarga untuk menjalani terapi pengganti
ginjal misalnya dialisis, transplantasi ginjal
- Pemberian nutrisi
Pemberian nutrisi
penting untuk memperbaiki nutrisi dan pertumbuhan penderita. Pemberian nutrisi
pada GGK:
a) Kalori yang adekuat mengacu pada recommended daily allowance (RDA)
Tabel2.
b) Protein yang diberikan harus cukup untuk pertumbuhan namun tidak
memperberat keadaan uremia. Tabel2.
c) Pemberian diet yang mengandung fosfat harus dibatasi untuk mencegah
terjadinya hiperparatiroidism sekunder. Dianjurkan mempergunakan kalsium
karbonat untuk mengikat fosfat.
Tabel 2. Kebutuhan kalori dan protein yang
direkomendasikan untuk anak dengan gagal ginjal kronik
Umur Tinggi Energi Minimal Ca P
( cm) (Kkal) protein(g) (g) (g)
0-12 bulan 55 120/kg
2,2/kg 0,4 0,2
2-6 bulan 63 110/kg
2,0/kg 0,5 0,4
6-12 bulan 72 100/kg
1,8/kg 0,6 0,5
1-2 tahun 81 1000 18 0,7 0,7
2-4 tahun 96 1300 22 0,8 0,8
4-6 tahun 110 1600 29 0,9 0,9
6-8 tahun 121 2000 29 0,9 0,9
8-10 tahun 131 2200 31 1 1
10-12 tahun 141 2450 36 1,2 1,2
12-14tahun L 151 2700 40 1,4 1,4
P 154 2300 34 1,3 1,3
14-18tahun L 170 3000 45 1,4 1,4
P 159 2350 35 1,3 1,3
18-20tahun L 175 2800 4,2 0,8 0,8
P 163 2300 33 0,8 0,8
- Pemberian cairan dan elektrolit
Pengaturan cairan
pada penderita GGK harus mengacu pada status hidrasi penderita. Dilakukan
evaluasi turgor kulit, tekanan darah, dan berat badan. Pada penderita GGK
dengan poliuria pemberian cairan harus cukup adekuat untuk menghindari
terjadinya dehidrasi. Harus ada keseimbangan antara jumlah cairan yang
dikeluarkan (urin, muntah, dan lain-lain) dengan cairan yang masuk. Pemberian
cairan juga harus memperhitungkan insensible water loss. Pembatasan
cairan biasanya tidak diperlukan, sampai penderita mencapai gagal ginjal tahap
akhir atau terminal.
- Koreksi asidosis dengan pemberian NaHCO3 1-2 mmol/kg/hari peroral dalam dosis terbagi. Keadaan asidosis yang berlangsung lama akan mengganggu pertumbuhan. Pengobatan asidosis harus dimonitor. Dosis harus disesuaikan dengan analisis gas darah. Pada asidosis berat dilakukan koreksi dengan dosis 0,3 kgBB x (12 - HCO3- serum) mEq/L iv. Satu tablet NaHCO3 500 mg = 6 Meq HCO3-.
- Osteodistrofi ginjal
Osteodistrofi ginjal
dapat dicegah dengan pemberian kalsium, pengikat fosfat serta vitamin D. Dosis
kalsium yang sering digunakan 100-300 mg/m2/hari. Vitamin D yang
sering digunakan 1,25 OHvitD3 (rocatrol) dengan dosis 0,25 μg/hari (15-40
ng/kgBB/hari).
- Hipertensi
Hipertensi pada GGK
penyebabnya multifaktor. Pengobatan hipertensi meliputi non farmakologis yaitu
diet rendah garam, menurunkan berat badan dan olah raga. Pengobatan
farmakologis, obat yang sering dipergunakan yaitu : diuretik, calcium channel
blocker, angiotensin receptor blocker, ACE (angiotensin converting enzym)
inhibitor, beta blocker,agonis adrenergik alfa,vasodilator perifer.
Pengobatan hipertensi
diawali dengan pemberian diuretik golongan furosemid 1-4 mg/kgBB/hari dibagi
1-4 dosis. Bila tidak berhasil dapat diberi antihipertensi calcium channel
blocker ( nifedepin 1-2 mg/kg/hari dibagi 4 dosis ), ACE inhibitor ( kaptopril
0,3 mg/kg/kali diberikan 2-3 kali sehari), beta blocker (propanolol 1-10
mg/kg/hari), dan lain-lain. Pada hipertensi krisis dapat diberikan nifedipin
secara sublingual 0,1mg/kg/kali maksimum 1 mg/kg/hari.
- Anemia
Pengobatan anemia
pada GGK dengan pemberian recombinant hormon eritropoietin (EPO), bila Hb
≤ 10 g/dl, Ht ≤ 30% dengan dosis 50 unit/kgBB subkutan dua kali
seminggu, dengan catatan serum feritin > 100 μg/L. Dosis dapat
ditingkatkan sampai target haemoglobin 10-12 mg/dL tercapai. Selain itu pemberian
asam folat diberikan pada penderita dengan defisiensi asam folat, dosis 1-5
mg/hari (selama 3-4 minggu). Penderita dengan dialisis diberi dosis rumatan 1
mg/hari.
- Gangguan jantung
Bila terjadi gagal
jantung dan hipertensi, maka pengobatan diberikan furosemide secara oral atau
intravena dan pemberian calcium channel blocker. Bila terjadi perikarditis dan
uremia berat adalah indikasi dilakukan dialisis.
- Gangguan pertumbuhan
Evaluasi pertumbuhan
penderita GGK terutama dibawah umur 2 tahun dengan melakukan pengukuran tinggi
badan, berat badan, dan lingkar kepala secara teratur. Sehingga adanya gangguan
pertumbuhan dapat segera diketahui. Pemberian nutrisi yang adekuat dapat
mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan. Terapi dengan recombinant growth
hormon (rhGH) dapat diberikan untuk mempercepat pertumbuhan dengan dosis 0,35
mg/kgBB atau 30 UI/m2 perminggu dibagi 7 dosis. Pemberian rhGH pada
anak-anak masa pubertal menunjukkan hasil yang memuaskan daripada anak-anak
usia pubertal.
Penanganan penderita
dengan gagal ginjal terminal dengan melakukan terapi pengganti ginjal meliputi
transplantasi ginjal dan dialisis.
a) Transplantasi ginjal merupakan pilihan utama pada GGT. Namun sebelum
dilakukan transplantasi ginjal sering penderita GGT harus menjalani dialisis
terlebih dahulu. Transplantasi ginjal yang dilakukan tanpa dialisis disebut
pre-emptive transplantation (1).
b) Dialisis dilakukan pada penderita dengan indikasi sebagai berikut :
·
Gejala-gejala uremia yaitu letargi, anoreksia,
muntah-muntah.
·
Hiperkalemia yang tidak respon dengan koreksi
·
Overload cairan
Ada 2 macam dialisis
yaitu :
·
Peritoneal dialisis
·
Hemodialisis
Pada anak peritoneal
dialisis lebih disukai daripada hemodialisis. Saat ini tindakan dialisis
cenderung dilakukan lebih awal yaitu bila LFG kurang dari 15 mL/menit/1,73 m2
luas permukaan tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Rigden SPA. The management of chronic and end stage
renal failure in children. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical Paediatric
Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 427-46.
2.
Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal Ginjal
Kronik. Dalam Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO Eds. Buku Ajar
Nefrologi Anak 2nd ed. Bali penerbit FKUI Jakarta, 2002; 509-30.
3.
Fogo AB, Kon V. Pathophysiology of progressive
renal disease. In Avner ED, Harmon WE, Niaudet P Eds. Pediatric Nephrology.
Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1269-85.
4.
Kei-Chiu TN, Chiu MC. Pre-Renal Replacement Program
: Conservative Management of Chronic Kidney Disease. In Chiu MC, Yap HK Eds.
Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 247-52.
5.
Yap HK. Anemia, Renal Osteodystrophy, Growth
Failure in Chronic Renal Failure. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric
Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 253-61.
6.
Winearls CG. Clinical Evaluation and Manifestation
of chronic Renal Failure. In Johnson RJ, Feecally J Eds. Comprehensive Clinical
Nephrology. Harcourt Publishers Limited London, 2000; section 14. 68 : 1-14.
7.
Fine RN, Whyte DA, Baydstrun II. Conservative
management of chronic renal insufficiency. In Avner ED, Harmon WE, Naudet P
Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1291-305.
8.
Kuizon BD, Sausky IB. Renal Osteodistrophy. In
Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams
& Wilkins USA, 2004; 1291-305.
9.
Goonasekera CDA, Dillon MJ. Thhe child with
hypertension. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical Paediatric Nephrology 3rd
ed. Oxford University Press Inc, 2003; 151-61.
Selasa, 28 Agustus 2012
Psikososial GGK
Oleh : Dr.Andri,SpKJ (Psikiater)
PENDAHULUAN
Secara global terdapat 200 kasus
gangguan ginjal per sejuta penduduk. 8 juta di antara jumlah populasi
yang mengalami gangguan ginjal berada dalam tahap gagal ginjal kronis.
Penelitian sebelumnya mengatakan terdapat hubungan antara mengalami
gagal ginjal dengan timbulnya gangguan psikiatri pada pasien (Cohen et
al., 2004). Kondisi ini bisa terjadi pada kasus gagal ginjal akut maupun
yang kronis.
Penyakit apapun yang berlangsung
dalam kehidupan manusia dipersepsikan sebagai suatu penderitaan dan
mempengaruhi kondisi psikologis dan sosial orang yang mengalaminya. Akan
tetapi petugas kesehatan sering kali cenderung memisahkan aspek
biologis dari aspek psikososial yang dialami pasien (Leung, 2002).
Aspek psikososial menjadi penting
diperhatikan karena perjalanan penyakit yang kronis dan sering membuat
pasien tidak ada harapan. Pasien sering mengalami ketakutan, frustasi
dan timbul perasaan marah dalam dirinya. (Harvey S, 2007). Penelitian
oleh para profesional di bidang penyakit ginjal menemukan bahwa
lingkungan psikososial tempat pasien gagal ginjal tinggal mempengaruhi
perjalanan penyakit dan kondisi fisik pasien (Leung, 2002).
Kondisi yang telah disebutkan di
atas yang membuat salah satu tugas perawat dialisis sebelum melakukan
prosedur hemodialisis kepada pasien disarankan untuk menilai status
kesehatan jiwa pasien yang akan dihemodialisis (Hudson et al, 2005).
JENIS GANGGUAN JIWA
Depresi
Depresi adalah kondisi gangguan
kejiwaan yang paling banyak ditemukan pada pasien gagal ginjal.
Prevalensi depresi berat pada populasi umum adalah sekitar 1,1%-15% pada
laki-laki dan 1,8%-23% pada wanita, namun pada pasien hemodialisis
prevalensinya sekitar 20%-30% bahkan bisa mencapai 47%. Hubungan depresi
dan mortalitas yang tinggi juga terdapat pasien-pasien yang menjalani
hemodialisis jangka panjang (Chen et al. 2010). Kondisi afeksi yang
negatif pada pasien gagal ginjal juga seringkali bertumpang tindih
gejalanya dengan gejala-gejala pasien gagal ginjal yang mengalami uremia
seperti iritabilitas, gangguan kognitif, encefalopati, akibat
pengobatan atau akibat hemodialisis yang kurang maksimal (Cukor et
al.2007)
Pendekatan psikodinamik pada
gangguan depresi adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan hilangnya
sesuatu di dalam diri manusia tersebut. Hal ini disebut sebagai faktor
eksogen sebagai penyebab depresinya. Kondisi gagal ginjal yang biasanya
dibarengi dengan hemodialisis adalah kondisi yang sangat tidak nyaman.
Kenyataan bahwa pasien gagal ginjal terutama gagal ginjal kronis yang
tidak bisa lepas dari hemodialisis sepanjang hidupnya menimbulkan dampak
psikologis yang tidak sedikit. Faktor kehilangan sesuatu yang
sebelumnya ada seperti kebebasan, pekerjaan dan kemandirian adalah
hal-hal yang sangat dirasakan oleh para pasien gagal ginjal yang
menjalani hemodialisis. Hal ini bisa menimbulkan gejala-gejala depresi
yang nyata pada pasien gagal ginjal sampai dengan tindakan bunuh diri.
Kepustakaan mencatat bahwa tindakan
bunuh diri pada pasien gagal ginjal kronis yang mengalami hemodialisis
di Amerika Serikat bisa mencapai 500 kali lebih banyak daripada populasi
umum. Selain tindakan nyata dalam melakukan tindakan bunuh diri,
sebenarnya penolakan terhadap kegiatan hemodialisis yang terjadwal dan
ketidakpatuhan terhadap diet rendah potasium adalah salah satu hal yang
bisa dianggap sebagai upaya “halus” untuk bunuh diri.
Sindrom Disequilibrium
Kondisi sindrom disequilibrium
cukup sering terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis. Hal ini
biasanya terjadi selama atau segera setelah proses hemodialisis. Kondisi
ini disebabkan oleh koreksi berlebihan dari keadaan azotemia yang
membuat ketidakseimbangan osmotik dan perubahan pH darah yang cepat.
Kondisi ketidakseimbangan ini yang membuat adanya edema serebral yang
menyebabkan timbulnya gejala-gejala klinik seperti sakit kepala, mual,
keram otot, iritabilitas, agitasi, perasaan mengantuk dan kadang kejang.
Gejala psikosis juga bisa terjadi. Sindrom disequilibrium biasa terjadi
setelah 3 s.d. 4 jam setelah hemodialisis namun bisa juga terjadi 8-48
jam setelah prosedur itu dilakukan.
Demensia Dialisis
Demensia Dialisis juga dikenal
dengan sebutan ensefalopati dialisis adalah sindroma yang fatal dan
progresif. Pada prakteknya hal ini jarang terjadi dan biasanya terjadi
pada pasien yang sudah menjalani dialisis paling sedikit satu tahun.
Kondisi ini diawali dengan gangguan bicara, seperti gagap yang kemudian
berlanjut menjadi disartria, disfasia dan akhirnya tidak bisa bicara
sama sekali. Semakin lama kondisi ini semakin berat sampai berkembang
menjadi mioklonus fokal maupun menyeluruh, kejang fokal atau umum,
perubahan kepribadian, waham dan halusinasi.
Demensia dialisis disebabkan karena
keracunan alumunium yang berasal dari cairan dialisis dan garam
alumunium yang digunakan untuk mengatur level fosfat serum.
Pencegahannya dengan menggunakan bahan dialisis yang tidak mengandung
alumunium. Pada awalnya kondisi ini dapat kembali baik namun jika
dibiarkan dapat menjadi progresif sampai dengan periode 1-15 bulan ke
depan setelah gejala awal. Kematian biasanya terjadi dalam rentang 6-12
bulan setelah permulaan gejala.
FAKTOR PSIKOSOSIAL
Emosi
Perasaan takut adalah ungkapan
emosi pasien gagal ginjal yang paling sering diungkapkan. Pasien sering
merasa takut akan masa depan yang akan dihadapi dan perasaan marah yang
berhubungan dengan pertanyaan mengapa hal tersebut terjadi pada dirinya.
Ketakutan dan perasaan berduka juga kerap datang karena harus
tergantung seumur hidup dengan alat cuci ginjal. Perasaan ini tidak bisa
dielakan dan seringkali afeksi emosional ini ditujukan kepada
sekeliling seperti pasangan, karyawan dan staf di rumah sakit. Kondisi
ini perlu dikenali oleh semua orang yang terlibat dengan pasien.
Harga Diri
Pasien dengan gagal ginjal sering
kali merasa kehilangan kontrol akan dirinya. Mereka memerlukan waktu
yang panjang untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan apa yang
dialaminya. Perubahan peran adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Sebagai contoh seorang pencari nafkah di keluarga harus berhenti bekerja
karena sakitnya. Perasaan menjadi beban keluarga akan menjadi masalah
buat individu ini.
Selain itu juga pasien sering kali
merasa dirinya “berubah”. Adanya kateter yang menempel misalnya pada
pasien dengan dialisis peritoneal, lesi di kulit, nafas berbau ureum dan
perut yang membuncit membuat percaya diri dan citra diri pasien
terpengaruuh.
Gaya Hidup
Gaya hidup pasien akan berubah.
Perubahan diet dan pembatasan air akan membuat pasien berupaya untuk
melakukan perubahan pola makannya. Keharusan untuk kontrol atau
melakukan dialisis di rumah sakit juga akan membuat keseharian pasien
berubah. Terkadang karena adanya komplikasi pasien harus berhenti
bekerja dan diam di rumah. Hal-hal ini yang perlu mendapatkan dorongan
untuk pasien agar lebih mudah beradaptasi.
Fungsi Seksual
Fungsi seksual pada pasien yang
mengalami gagal ginjal akan sering terpengaruh. Hal ini bisa disebabkan
karena faktor organik ( perubahan hormonal atau karena insufisiensi
vaskuler pada kasus gagal ginjal dengan diabetes), psikososial
(perubahan harga diri,citra diri dan perasaan tidak menarik lagi) atau
masalah fisik (distensi perut, perasaan tidak nyaman dan keluhan-keluhan
fisik akibat uremmia). Masalah pengobatan yang mengganggu fungsi
seksual juga bisa menjadi masalah.
INTERVENSI PSIKOSOSIAL
Intervensi psikososial harus
dilakukan sedini mungkin sejak diagnosis gagal ginjal ditetapkan. Hal
ini juga membutuhkan usaha yang terus menerus untuk membuatnya tetap
berjalan.
Implikasi Keperawatan
Gagal ginjal kronis mempunyai
karakteristik penurunan kondisi yang cepat. Bantuan keperawatan dalam
bidang psikososial harus berusaha memfasilitasi penyesuaian perubahan
akibat sakit yang dialami. Perawat juga perlu memperbaiki interaksi
sosial dan gaya hidup dengan mencegah kondisi sakit yang lebih jauh,
mengontrol gejala dan menjadikan hemodialisis menjadi bagian dari
kehidupan normal sehari-hari. Pengetahuan pasien yang baik tentang
penyakit yang dideritanya akan mengurangi kecemasan pasien. Hal ini yang
membuat sangat penting bagi perawat untuk mempunyai keahlian dalam
menyediakan informasi yang jelas demi membantu pasien untuk menentukan
tujuan dari perawatan dan membantu pemecahan masalah untuk kemampuan
fungsional fisik yang lebih baik.
Penilaian Kondisi
Penilaian kondisi pasien akan
menentukan kebutuhan pasien, mengidentifikasi masalah dan
masalah-masalah yang menjadi potensial untuk timbul serta mengumpulkan
informasi untuk rencana pengobatan sehingga bantuan yang sesuai bisa
diberikan. Penilaian ini berfokus pada efek sakit terhadap pasien.
Beberapa informasi berguna termasuk gaya hidup, pola kehidupan
sehari-hari, kekuatan kepribadian dan minat, cara adaptasi sehari-hari,
pengertian akan penyakit saat ini, persepsi terhadap pengobatan yang
diberikan, tekanan hidup atau perubahan belakangan ini dan beberapa
masalah yang terkait dengan penyakit. Dengan mendengarkan pasien dan
keluarga dalam diskusi, perawata bisa mengidentifikasi masalah-masalah
psikososial yang terkait denga penyakit dan kebutuhan akan bantuan. Di
waktu yang sama informasi tentang pengobatan yang dilakukan dan
bagaimana kondisi harapan dari sakit yang diderita bisa dijelaskan.
Membesarkan Hati
Peran dari tenaga kesehatan adalah
membesarkan hati dan jika mungkin membuat pasien mampu menerima tanggung
jawab akan kesehatan dan kebahagiaan serta mampu mengisi tanggung jawab
mereka di keluarga dan masyarakat. Pada kondisi ini perawat dapat
membesarkan hari pasien untuk menerima keterbatasan pribadi akibat
kondisi sakit dan pengobatannya. Kondisi-kondisi seperti ini yang bisa
memberikan persesi positif dan pengertian di antara pasien dan petugas
kesehatan.
Peningkatan Kualitas Hidup
Pasien dengan karakter dependen
atau tergantung mungkin beradaptasi dengan terapi lebih mudah, namun
ketergantungan yang berlebihan dapat menciptakan permintaan yang esktrim
kepada pengasuh dan dapat menghambat rehabilitasi. Beberapa pasien
mungkin mendapatkan “secondary gain” dari penyakit yang
diderita dan beberapa yang lainnya menikmati peran menjadi pasien.
Perawat dapat memfasilitasi adaptasi pasien terhadap hal-hal yang
dibutuhkan sehubungan dengan perawatan dengan memaksimalkan kekuatan
pasien dan mendorong pasien lebih baik lagi. Terapi yang lebih bersifat
individu dan meminimalkan kompleksitasnya dapat membantu perilaku yang
lebih menurut. Penilaian, edukasi, motivasi, pemberian dukungan,
membesarkan hati, mengajarkan cara membantu diri sendiri dan memonitor
diri sendiri akan membuat pada akhirnya peningkatan kepatuhan pasien dan
pasien mampu hidup dengan kondisi kronis yang dialaminya.
Jika dalam program rehabilitasi
terdapat kelompok-kelompok suportif seperti latihan fisik bersama,
program edukasi bersama atau kegiatan bersama lainnya maka hal ini akan
membuat pasien lebih nyaman. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan
kebersamaan dengan orang yang senasib dan adanya penghargaan sosial
serta apresiasi dari rekan senasib. Kegiatan ini bisa membuat isolasi
pasien terhadap lingkungan berkurang. Pada akhirnya kegiatan-kegiatan
ini sangat berkontribusi dengan peningkatan kepatuhan pasien dalam
proses terapi.
PERAN KELUARGA
Anggota keluarga memerankan hal
yang penting dalam kesejahteraan pasien. Mereka tidak boleh
dikesampingkan dalam proses penanganan pasien. Perubahan pola kehidupan
keluarga mungkin diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pasien. Pasien dan
keluarga harus dibantu untuk menceritakan perasaan mereka dalam suatu
hubuungan saling percaya agar dapat menyesuaikan dengan proses adaptasi
dari sakit pasien. Penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa perasaan
bersalah, kesedihan dan kehilangan yang sangat dan sering terjadi pada
pasangan pasien.
Edukasi dan informasi yang adekuat
bagi pasien dan keluarga tentang penyakit yang dialami dan perjalanan
penyakit akan sangat penting dan harus dimulai sejak sebelum memutuskan
untuk melakukan dialisis.
PERAN PETUGAS KESEHATAN
Petugas kesehatan yang berkecimpung
dalam bidang ini, dokter spesialis, dokter jaga, perawat dan staf
lainnya bisa mempengaruhi dan dipengaruhi secara negatif maupun positif
jika berhubungan dengan pasien gagal ginjal. Adanya harapan hidup dengan
program rehabilitasi akan membuat sikap positif dari para petugas
kesehatan yang terlibat. Hal ini berhubungan dengan keteraturan berobat,
latihan dan perawatan diri. Namun demikian sering terjadi petugas
kesehatan menjadi sangat tidak nyaman karena perilaku yang sulit dari
pasien, penurunan kondisi pasien pada pasien yang hubungan rapport telah
terbina baik dan kegagalan terapi.
Terjadinya kecemasan berkaitan
dengan tuntutan kerja dan distres spiritual akibat kesulitan menemukan
arti atau tujuan dari kehidudapan pribadi dan profesional seringkali
dikatakan oleh petugas kesehatan. Petugas kesehatan yang terlibat dalam
tim bisa diberikan kesempatan untuk menilai penyebab stres, membangun
ide-ide, membagikannya dengan sejawat dan menciptakan kesempatan untuk
saling menghormati dan memberikan dorongan kepada anggota yang lain.
Cara lain untuk mengganti perhatian dari stres ke hal lain adalah
mencari hal-hal yang lucu dalam pengalaman kerja, belajar dari pasien
untuk menerima keterbatasan dan untuk mengambil waktu yang sesuai lepas
dari pekerjaan untuk bermain dan beristirahat.
KESIMPULAN
Perawat yang bekerja di unit gagal
ginjal sering dihadapkan pada pasien yang mengalami problem psikososial
dan perilaku. Membangun kemampuan untuk mengenali dan beradaptasi dengan
masalah-masalah itu adalah sesuatu yang diperlukan. Sering kali
intervensi psikosial tidak bekerja karena keterbatasan dari segi
perawat. Untuk itu perawat diharapkan dapat belajar cara-cara mengatasi
masalah psikosial yang terjadi di unitnya masing-masing baik yang
dialami pasien, keluarga maupun petugas di dalam unit itu sendiri.
KEPUSTAKAAN
- Burrows-Hudson, S., Prowant, B. American Nephrology Nurses Association Nephrology Nursing Standards of Practice and Guidelines for Care. (2005). Pp.71-72
- Chen CK, Tsai YC, Hsu HJ, Wu IW, Sun CY, Chou CC, et al. in Depression and Suicide Risk in Hemodialysis Patients With Chronic Renal Failure. Psychosomatics 2010; 51:528–528.e6
- Cukor D, Coplan J, Brown C, Friedman S, Cromwell-Smith A, Peterson RA, Kimmel PL. In Depression and Anxiety in Urban Hemodialysis Patients. Clin J Am Soc Nephrol 2007; 2: 484-490
- Leung DKC. Psychosocial aspect in renal patients. Proceedings of the First Asian Chapter Meeting — ISPD. December 13 – 15, 2002, Hong Kong Peritoneal Dialysis International, Vol. 23 (2003), Supplement 2
- Levenson JL, Owen JA. Renal and Urological Disorder in Clinical Manual of Psychopharmacology in the Medically Ill.
- Harvey S. Mental health issues in dialysis care. Presentation 2002.
Kurangi Transfusi
Efek
samping yang ditimbulkan akibat transfusi darah terus menerus pada
pasien hemodialisis kini teratasi dengan pemberian hormon eritropoietin.
Sayangnya, terapi ini masih sangat mahal
Gejala anemia, merupakan keluhan yang sering muncul pada pasien
gagal ginjal kronik atau pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi.
Sampai saat ini, prinsip terapi anemia akibat kondisi penyakit di atas
adalah dengan transfusi sel-sel darah merah dan pemberian hormon
testosteron. Meskipun transfusi dalam waktu singkat mampu meningkatkan
jumlah sel darah merah, namun pengulangan transfusi menimbulkan berbagai
masalah baru, termasuk menumpuknya zat besi, berkembangnya antibodi
tertentu, dan terbukanya kemungkinan infeksi virus. Testosteron juga
mampu menstimulasi produksi sel darah merah oleh sumsum tulang belakang,
namun efeknya cenderung tidak dramatis bahkan penggunaan hormon ini
sering menibulkan efek samping yang berkaitan dengan kejantanan.
Sejak awal 90-an, mulai dikenalkan pemberian Recombinant human erythropoietin
(EPO) untuk terapi anemia pada pasien gagal ginjal kronis yang harus
menjalani hemodialisis. EPO tergolong hormon glikoprotein yang merupakan
sitokin eritrosit, atau bentuk awal sel darah merah di sumsum tulang
belakang. Sebagai agen terapi, EPO pertama kali diisolasi dan dimurnikan
dari urin di tahun 1977. Tahuan 1983, gen eritropoietin diisolasi dan
dikloning. Hal ini mendorong produksi hormon ini dalam jumlah besar
hingga akhirnya berujung pada penggunaan untuk pasien gagal ginjal di
tahun 1990. Untuk kondisi ini, EPO diberikan baik melalui intravena saat
proses dialisis maupun diberikan secara subkutan.
Terapi dengan EPO saat ini merupakan hal yang paling mungkin
dilakukan sebagai alternatif pengganti transfusi. Pada awalnya, studi
percobaan yang sudah dilakukan menduga kalau usaha mengatasi anemia pada
pasien gagal ginjal kronik bisa jadi akan merugikan karena akan
mempercepat progresivitas gagal ginjal. Namun kini meskipun pengalaman
klinis penggunaan agen ini masih sangat diperketat terutama untuk pasien
penyakit ginjal tahap akhir, beberapa studi terkini sudah dilaporkan
dan hasilnya ternyata positif. Review dari berbagai studi sebagian besar
menyimpulkan bahwa penggunaan EPO terbukti menguntungkan dan bisa
ditolerir dengan baik tanpa ada efek terhadap progresivitas gagal
ginjal.
Pasa pasien anemia karena gagal ginjal kronik, terapi dengan
eritropoietin kini sudah menjadi praktik standard dan secara dramatis
mampu menurunkan kebutuhan akan transfusi darah. Kenaikan hematokrit
terlihat pada pasien yang diterapi dengan eritropoietin, dan secara umum
menyebabkan perbaikan dalam stamina. Pemberian eritropoeitin juga bisa
ditolerir dengan baik. Namun satu hal yang penting dalam penggunaan
hormon ini adalah memonitor status zat besi pasien. Pasien yang mngalami
defisiensi zat besi berarti tidak cukup merespon pemberian
eritropoietin.
Salah satu studi penggunaan EPO dilakukan oleh Urabe dkk dari
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Tokyo,
Jepang. Mereka merekrut orang normal dan pasien anemia akibat gagal
ginjal kronik yang menjalani hemodialisis sebagai subjek studi. EPO
dosis 300 U/kg diberikan intravena pada setiap orang normal dalam studi
Fase I. Hasilnya, tidak ada perubahan baik subjektif maupun objektif.
Pada studi Fase II, sebanyak 66 pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis dengan kadar hematokrit kurang dari 20%, diberi
EPO dosis 50 U/kg hingga 200 U/kg dua atau tiga kali seminggu. Ternyata
hematokrit meningkat secara signifikan dalam waktu 12 minggu, dan
kondisi pasien membaik. Pasien yang sebelumnya selalu membutuhkan
transfusi darah menjadi terbebas dari rutinitas ini selama masa studi.
Tidak ada efek samping yang jelas yang mengindikasikan tingkat efikasi
dan keamanan eritropoietin untuk terapi anemia akibat gagal ginjal
kronik.
Sayangnya meski sangat menguntungkan, terapi dengan eritropoietin
masih sangat mahal. Beberapa suntikan dibutuhkan setiap minggunya untuk
EPO dalam formula aslinya, namun untuk EPO dengan formulasi aksi panjang
(long-acting), cukup sekali suntikan setiap dua minggu. Semua
bentuk EPO dalam berbagai formulasi masih mahal. Di Amerika Sikat,
pasien dialisis yang menggunakan EPO seumur hidupnya harus mengeluarkan
dana sekitar 10.000 dolar per tahun. Pasien kemoterapi yang notabene
membutuhkan EPO dalam waktu relatif singkat dibandingkan pasien
dialisis, harus merogoh kantong sekitar 1.000 dolar per bulan.
|
Seperti tercetak di Majalah Farmacia Edisi Maret 2007
, Halaman: 26
(2975 hits)
|
Mengenal Hemodialisa
Mungkin anda sudah pernah mendengar tentang hemodialisa atau yang lebih dikenal awam dengan cuci darah. Tapi apa sebenarnya hemodialisa itu? Bagaimana proses hemodialisa sebenarnya? Amankah untuk dilakukan terus menerus?
Apa itu hemodialisa?
Hemodialisa adalah metode pencucian darah dengan membuang cairan berlebih dan zat-zat yang berbahaya bagi tubuh melalui alat dialysis untuk menggantikan fungsi ginjal yang rusak. Kapan saya harus melakukan hemodialisa?
Hemodialisa dilakukan bila ginjal anda sudah tidak mampu melaksanakan fungsinya atau biasa disebut dengan gagal ginjal. Gagal ginjal dapat dibagi dua yaitu gagal ginjal akut dimana fungsi ginjal terganggu untuk sementara waktu sehingga hemodialisa dilakukan hanya hingga fungsi ginjal membaik dan gagal ginjal kronis dimana fungsi ginjal rusak secara permanen akibatnya hemodialisa harus dilakukan seumur hidupnya.
Mengapa hemodialisa ini penting?
Ginjal merupakan organ vital yang berfungsi membersihkan darah kita dari cairan berlebih, zat-zat sisa yang berbahaya dan elektrolit berlebih. Ginjal juga berfungsi menghasilkan hormone yang penting dalam proses metabolism tubuh dan merangsang pembentuk sel darah merah. Jika ginjal ini rusak maka bisa dibayangkan bahayanya bagi tubuh kita bahkan bisa menyebabkan kematian akibat menumpuknya cairan dan zat berbahaya dalam tubuh, karena itulah hemodialisa harus dilakukan untuk menggantikan fungsi ginjal tersebut.
Bagaimana hemodialisa bekerja?
Pertama kita harus mempersiapkan pembuluh darah sebagai akses masuknya selang dari alat dialysis. Pembuluh darah yang digunakan ada dua yaitu arteri sebagai akses keluarnya darah kotor ke dalam mesin dan vena sebagai jalan masuknya darah bersih dari mesin ke dalam tubuh. Melalui jarum maka selang dimasukkan ke dalam pembuluh darah. Biasanya anda akan diberikan bius local untuk mengurangi nyerinya. Pembuluh darah yang digunakan biasanya yang berukuran besar misalnya di daerah pangkal paha, daerah lengan dll. Pembuluh darah ini akan digunakan secara bergantian untuk mencegah mengerasnya pembuluh darah yang akhirnya nanti tidak bisa digunakan kembali.
Tentu anda akan bertanya ”bagaimana dengan orang yang harus melakukan hemodialisa seumur hidupnya, apakah tidak ada cara yang lebih praktis?”. Anda tidak perlu khawatir, karena ada cara baru untuk membuat akses yang permanen bagi pembuluh darah yaitu dengan membuat anatomosis antara arteri dan vena yang biasa disebut dengan Cimino-Breschia fistula atau dengan menghubungkan arteri dengan vena lewat pembuluh darah tambahan (graft). Daerah yang dipilih biasanya pembuluh darah di lengan bawah. Dengan cimino, anda hanya perlu menggunakan satu akses setiap kali melakukan hemodialisa hanya saja anda perlu menunggu 2-6 minggu hingga luka operasi sembuh dan cimino bisa digunakan. Cimino ini bisa bertahan selama 3 tahun untuk kemudian harus dicari pembuluh darah yang lain.
Setelah akses didapatkan, maka proses hemodialisa akan dilakukan. Hemodialisa dilakukan dengan alat yang disebut dialyzer. Mesin akan memompa darah kita keluar dari tubuh secara sedikit demi sedikit untuk kemudian dicuci dalam dialyzer ini. Dialyzer merupakan alat seperti filter dengan ribuan serat halus yang akan menyaring semua zat berbahaya, cairan dan elektrolit berlebih. Di dalam dialyzer terdapat cairan khusus yang disebut dialysate yang mengandung cairan dan formula khusus yang berfungsi menyerap zat yang tidak perlu dan menambahkan zat atau mineral atau elektrolit yang kurang. Komposisi dialysate dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaan cairan dan darah anda saat melakukan hemodialisa. Karena itulah setiap kali akan melakukan hemodialisa anda akan melalui pemeriksaan darah terlebih dahulu dulu untuk melihat komposisi elektrolit dan berbagai komponen kimia darah dalam tubuh saat itu.
Setelah selesai disaring, maka darah yang sudah bersih akan dipompa kembali ke dalam tubuh. Proses ini akan diulang berkali-kali hingga seluruh darah berhasil disaring.
Proses hemodialisa ini dapat dilihat dalam video berikut ini http://www.youtube.com/watch?v=x_ra9YUX9fk
Berapa lama proses hemodialisa berlangsung?
Rata-rata tiap orang memerlukan waktu 9 – 12 jam dalam seminggu untuk mencuci seluruh darah yang ada, tetapi karena ini waktu yang cukup panjang, maka biasanya akan dibagi menjadi tiga kali pertemuan dalam seminggu selama 3-5 jam setiap kali hemodialisa.
Tentu saja ini tidak sama untuk tiap orang, lamanya waktu yang dibutuhkan dan berapa kali dalam seminggu harus dilakukan hemodialisa sangat tergantung pada derajat kerusakan ginjal, diet sehari-hari, penyakit lain yang menyertai, ukuran tubuh dll. Karena itu penting untuk konsultasi secara teratur pada dokter yang menangani anda mengenai jadwal hemodialisa anda.
Apa komplikasi yang dapat muncul selama hemodialisa?
- Hipotensi : ini paling sering pada pasien gagal ginjal dengan diabetes mellitus atau kencing manis tapi seiring dengan kemajuan teknologi, resiko ini semakin berkurang.
- Kram otot. Dulu hal ini sering terjadi tetapi dengan mesin dialysis sekarang angka kejadiannya berkurang.
- Reaksi anafilaktik atau alergi terhadap cairan dialysate. Biasanya ini terjadi pada hemodialisa pertama kalinya tapi akan berkurang seirirng seringnya hemodialisa dilakukan.
- Selain itu anda dapat merasa mual, mengantuk, lelah, pusing, dan dingin selama proses hemodialisa dilakukan. Beritahukanlah pada staf yang bertugas agar mereka dapat membantu anda merasa lebih baik.
Apakah saya harus melakukan hemodialisa seumur hidup saya?
Bila anda belum bisa melakukan transplantasi ginjal untuk menggantikan ginjal anda yang rusak maka anda harus melakukan hemodialisa seumur hidup anda.
Apa saja yang harus saya lakukan selama menjalani proses hemodialisa?
- Anda tentu saja harus melakukan hemodialisa secara teratur dan sesuai jadwal agar tercapai hasil yang maksimal.
- Lakukanlah check up secara teratur dengan dokter yang menangani anda.
- Diet dan cairan yang tepat (dibahas pada artikel lainnya).
- Melakukan pengontrolan yang ketat terhadap penyakit lain yang menyertai keadaan gagal ginjal misalnya kontrol gula darah pada diabetes, kontrol tekanan darah pada hipertensi dan kontrol lainnya.
- Melakukan transfusi darah atau Recombinant human erythropoietin (EPO) untuk mengatasi anemia yang terjadi karena hemodialisa tidak bisa menggantikan fungsi ginjal dalam menghasilkan hormone yang merangsang pembentukkan sel darah merah.
Waspadalah dan segera konsultasi ke dokter bila anda mengalami :
- Bengkak pada seluruh tubuh
- Tekanan darah yang tinggi
- Rasa lelah yang berlebihan dan tubuh terasa sangat lemas
- Insomnia atau sulit tidur di malam hari
- Mual dan muntah yang hebat
- Rasa gatal pada seluruh tubuh tanpa sebab yang jelas
- Kejang berulang atau kram pada otot terutama otot kaki
- Kesadaran yang menurun
Karena ini adalah tanda kegagalan fungsi ginjal dan perlunya hemodialisa segera.
Jadi apakah hemodialisa ini aman ? Selama dilakukan oleh tenaga terlatih dan di tempat dengan fasilitas sesuai maka hemodialisa ini aman untuk anda.
~
Ditulis oleh: dr. Hygiena Kumala Suci
~
Sumber :
kidney.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/hemodialysis/
http://www.medicinenet.com/hemodialysis/article.htm
Dennis L. Kasper, Eugene Braunwald, Anthony Fauci, Stephen Hauser, Dan Longo, J. Larry Jameson. 2004. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition. USA: McGraw-Hill Professional
The Ohio State University Medical Center, Mount Carmel Health and OhioHealth, Columbus, Ohio. Available for use as a public service without copyright restrictions at www.healthinfotranslations.org.
Langganan:
Postingan (Atom)