Kamis, 30 Agustus 2012

Gagal Ginjal



A. PENGERTIAN

Gagal
ginjal kronik biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626)
Kegagalan
ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan pemulihan fungsi tidak dimulai. Pada kebanyakan individu transisi dari sehat ke status kronis atau penyakit yang menetap sangat lamban dan menunggu beberapa tahun. (Barbara C Long, 1996; 368)
Gagal
ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448)
Gagal
ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812)

B.
ETIOLOGI
Penyebab
GGK termasuk glomerulonefritis, infeksi kronis, penyakit vaskuler (nefrosklerosis), proses obstruksi (kalkuli), penyakit kolagen (luris sutemik), agen nefrotik (amino glikosida), penyakit endokrin (diabetes). (Doenges, 1999; 626)
Penyebab
GGK menurut Price, 1992; 817, dibagi menjadi delapan kelas, antara lain:
• Infeksi misalnya pielonefritis kronik
• Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
• Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
• Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
• Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal
• Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
• Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
• Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.

C.
PATOFISIOLOGI
Pada
waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi
renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Perjalanan
umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga stadium yaitu:
• Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal)
Di tandai dengan kreatinin serum dan kadar Blood Ureum Nitrogen (BUN) normal dan penderita asimtomatik.
• Stadium 2 (insufisiensi ginjal)
Lebih
dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (Glomerulo filtration Rate besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini Blood Ureum Nitrogen mulai meningkat diatas normal, kadar kreatinin serum mulai meningklat melabihi kadar normal, azotemia ringan, timbul nokturia dan poliuri.
• Stadium 3 (Gagal ginjal stadium akhir / uremia)
Timbul
apabila 90% massa nefron telah hancur, nilai glomerulo filtration rate 10% dari normal, kreatinin klirens 5-10 ml permenit atau kurang. Pada tahap ini kreatinin serum dan kadar blood ureum nitrgen meningkat sangat mencolok dan timbul oliguri. (Price, 1992: 813-814)

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
2. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
3. Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Sistem kardiovaskuler
• Hipertensi
• Pitting edema
• Edema periorbital
• Pembesaran vena leher
• Friction sub pericardial
b. Sistem Pulmoner
• Krekel
• Nafas dangkal
• Kusmaull
• Sputum kental dan liat
c. Sistem gastrointestinal
• Anoreksia, mual dan muntah
• Perdarahan saluran GI
• Ulserasi dan pardarahan mulut
• Nafas berbau amonia
d. Sistem muskuloskeletal
• Kram otot
• Kehilangan kekuatan otot
• Fraktur tulang
e. Sistem Integumen
• Warna kulit abu-abu mengkilat
• Pruritis
• Kulit kering bersisik
• Ekimosis
• Kuku tipis dan rapuh
• Rambut tipis dan kasar
f. Sistem Reproduksi
• Amenore
• Atrofi testis

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Suyono (2001), untuk menentukan diagnosa pada CKD dapat dilakukan cara sebagai berikut:
1. Pemeriksaan laboratorium
Menentukan derajat kegawatan CKD, menentukan gangguan sistem dan membantu menetapkan etiologi.
2. Pemeriksaan USG
Untuk mencari apakah ada batuan, atau massa tumor, juga untuk mengetahui beberapa pembesaran ginjal.
3. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia dan gangguan elektrolit

F. PENCEGAHAN
Obstruksi dan infeksi saluran kemih dan penyakit hipertensi sangat lumrah dan sering kali tidak menimbulkan gejala yang membawa kerusakan dan kegagalan ginjal. Penurunan kejadian yang sangat mencolok adalah berkat peningkatan perhatian terhadap peningkatan kesehatan. Pemeriksaan tahunan termasuk tekanan darah dan pemeriksaan urinalisis.
Pemeriksaan kesehatan umum dapat menurunkan jumlah individu yang menjadi insufisiensi sampai menjadi kegagalan ginjal. Perawatan ditujukan kepada pengobatan masalah medis dengan sempurna dan mengawasi status kesehatan orang pada waktu mengalami stress (infeksi, kehamilan). (Barbara C Long, 2001)

G. PENATALAKSANAAN
1. Dialisis (cuci darah)
2. Obat-obatan: antihipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat, suplemen kalsium, furosemid (membantu berkemih)
3. Diit rendah protein dan tinggi karbohidrat
4. Transfusi darah
5. Transplantasi ginjal

H. PATHWAY

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien CKD adalah:
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat.
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem sekunder: volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O.
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah.
4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder, kompensasi melalui alkalosis respiratorik.
5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan menurun.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan.


J. INTERVENSI
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
Tujuan:
Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil :
mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b. Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia

2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
b. Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan
d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

3.Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil: menunjukan BB stabil
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
c. Beikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
e. Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan

4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis
Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil :
- Mempertahankan kulit utuh
- Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit
Intervensi:
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
c. Inspeksi area tergantung terhadap udem
R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
d. Ubah posisi sesering mungkin
R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk menurunkan iskemia
e. Berikan perawatan kulit
R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit
f. Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritis
R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan
Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi
Intervensi:
a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
b. Kaji fektor yang menyebabkan keletihan
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat


DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai Penerbit FKUI





Gagal Ginjal Kronik
Muhammad Sjaifullah Noer, Ninik Soemyarso

PENDAHULUAN
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah keadaan dimana terjadi penurunan fungsi ginjal secara progresif, terdiri dari GGK ringan, sedang, berat sampai gagal ginjal terminal atau tahap akhir. Penurunan fungsi ginjal terjadi sesuai dengan penurunan jumlah dari massa ginjal (tabel 1). Fungsi ginjal dinyatakan sebagai laju filtrasi glomerulus (LFG) (1)
           
Tabel 1. Pembagian gagal ginjal kronik


Massa ginjal yang masih berfungsi(%)
LFG
ml/menit/1.73m2
Gejala-gejala
Gagal ginjal ringan
50 – 25
80 – 50
Asimptomatik
Gagal ginjal sedang
25 – 15
50 – 30
Gangguan metabolik dan pertumbuhan
Gagal ginjal berat
15 – 5
30 – 10
Gagal ginjal terminal
< 5
≤ 10
Membutuhkan terapi pengganti ginjal

Dikutip dari Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children.  In  Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical paediatric nephrology 3rd ed. Oxford University Press New York., 2003 : 428

ANGKA KEJADIAN
Angka kejadian gagal ginjal kronik sulit ditentukan secara pasti. Pada tahun 1999, di United Kingdom diperoleh data 53,4 per 1 juta anak mengalami terapi pengganti ginjal di mana 2,4% terjadi pada umur kurang dari 2 tahun, 6,4% pada umur 2-5 tahun, 20,5% pada umur 5-10 tahun, 41,2% pada umur 10-15 tahun dan 29,5% pada umur 15-18 tahun (1). Data GGK di Indonesia belum diketahui secara pasti. Di RSCM Jakarta dilaporkan 21 dari 252 anak yang menderita penyakit ginjal kronik (2).

PENYEBAB
Penyebab terjadinya GGK bermacam-macam. Namun terdapat tiga penyebab utama GGK pada anak yaitu kelainan kongenital, kelainan herediter, dan glomerulonefritis. Macam macam penyebab GGK adalah sebagai berikut : kelainan kongenital, kelainan herediter, glomerulonefritis, penyakit multisistem (lupus eritematosus, henoch schoenlein, hemolitic urmic syndrome), misscelaneous (penyakit neuromuskuler, tumor ginjal, syndroma drash). (1)

PATOFISIOLOGI
Ginjal mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu menghasilkan hormon-hormon misalnya eritropoitin, vitamin D3 aktif, membersihkan toksin hasil metabolisme dalam darah, mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa, serta memegang peranan untuk mengontrol tekanan darah(3). Pada gagal ginjal kronik, ginjal tidak mampu menjalankan beberapa atau semua fungsi tersebut di atas. Penyebab utama gangguan fungsi ginjal tersebut oleh karena berkurangnya massa ginjal oleh karena kerusakan akibat proses imunologis yang terus berlangsung, hiperfiltrasi hemodinamik dalam mempertahankan glomerulus, diet protein dan fosfat, proteinuria persisten serta hipertensi sistemik(3). Berkurangnya massa ginjal akibat kerusakan tersebut, akan menyebabkan terjadinya hipertrofi dan hiperfiltrasi dari massa ginjal yang tersisa. Akibatnya akan terjadi hipertensi pada massa ginjal tersebut yang dapat menyebabkan sklerosis glomerulus serta fibrosis dari jaringan interstitial(3,4).
Ginjal mempunyai kemampuan yang besar untuk melakukan kompensasi. Bila massa ginjal berkurang 50%, maka gejala-gejala pada GGK masih belum terlihat. Gejala-gejala GGK mulai tampak bila massa ginjal berkurang 50% sampai 80% misalnya uremia(3).
Uremia merupakan kumpulan gejala akibat terganggunya beberapa sistem organ sebagai akibat penimbunan toksin dari metabolisme protein(3). Tanda-tanda terjadinya gagal ginjal kronik yaitu adanya ginjal yang mengecil dari foto X-Ray, osteodistrofi ginjal, neuropati perifer serta terjadinya uremia(3).
Terjadinya osteodistrofi ginjal sebagai akibat terjadinya hiperparatiroid sekunder. Pada GGK terjadi penurunan LFG, akibatnya terjadi hiperfosfatemia yang akan merangsang kelenjar paratiroid untuk memproduksi hormon paratiroid. Di samping itu pada GGK terjadi penurunan aktifitas enzim 1 α-hidroxylase akan menyebabkan terjadinya hipokalsemia dan hiperfosfatemia. Keadaan ini juga akan merangsang kelenjar paratiroid untuk memproduksi hormon paratiroid. Ada dua macam bentuk osteodistrofi ginjal yaitu osteitis fibrosa cystica yang ditandai dengan peningkatan aktifitas osteoclast atau osteomalacia yang ditandai dengan penurunan aktifitas mineralisasi tulang (3).  
Neuropati yang terjadi lebih bersifat sensoris dengan gejala timbulnya paraesthesia serta “sindroma restless leg”. Pada GGK terjadi anemia normokromik normositik, akibat penurunan produksi eritropoitin yang dalam keadaan normal diproduksi di endotel kapiler peritubular (3). Pada gagal ginjal terminal merupakan fase akhir progresifitas dari gagal ginjal kronik. Penderita mengalami kerusakan massa ginjal dalam jumlah sangat besar sehingga untuk mempertahankan fungsi ginjal memerlukan terapi pengganti ginjal baik dialisis atau transplantasi (3).

MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis pada GGK dapat disebabkan oleh penyakit yang mendasari maupun akibat dari GGK sendiri yaitu : (1,2,5,6,7,8)
  1. Kegagalan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
  2. Penumpukan metabolit toksik atau toksin uremik
  3. Kekurangan hormon yang diproduksi di ginjal yaitu eritropoietin dan vit. D3 aktif
  4. Respon abnormal dari end organ terhadap hormon pertumbuhan


DIAGNOSIS (1,6)
Untuk menegakkan diagnosa GGK, anamnesis merupakan petunjuk yang sangat penting untuk mengetahui penyakit yang mendasari. Namun demikian pada beberapa keadaan memerlukan pemeriksaan-pemeriksaan khusus. Pemeriksaan yang diperlukan untuk mengetahui beratnya GGK adalah sebagai berikut :
·        Darah lengkap : hemoglobin, leukosit, trombosit, differential count, hapusan darah.
·        Kimia darah :
o       Serum elektrolit (K, Na, Ca, P, Cl), ureum, kreatinin, serum albumin, total protein, asam urat.
o       Analisa gas darah
o       Kadar hormon paratiroid
·        Pemeriksaan urin : albumin/protein, sedimen urin.
·        Laju Filtrasi Glomerulus, dapat ditentukan dengan menggunakan rumus Haycock-Schwartz
LFG = ( K x h )
                          Pcr
o       LFG : Laju Filtrasi Glomerulus
o       K : konstanta sesuai dengan tinggi badan dan massa otot
o       h : tinggi badan dalam cm
o       Pcr : kadar kreatinin dalam plasma (µmol/L atau mg/dL)
o       Nilai K berbeda menurut umur
Umur
Pcr (mg/dL)
Preterm
0,27
Neonatus
0,37
Bayi ( 0-1 th )
0,45
Anak ( 2-12 th)
0,55
Perempuan ( 13-21 th )
0,55
Laki-laku ( 13-21 th)
0,70

  • Foto tangan kiri dan pelvis untuk mengetahui bone age serta terjadinya osteodistrofi ginjal.
  • Thorax foto, elektrokardiografi (EKG) dan echocardiografi untuk mengetahui terjadinya hipertrofi ventrikel.
  • Pemeriksaan khusus yang diperlukan sesuai dengan penyakit yang mendasari :
    • Ultrasonografi ginjal
    • Voidingcystourography
    • Radioisotop-Scans
    • Antegrade pressure flow studies
    • Intravenous urogram
    • Urinalisis
    • Pemeriksaan mikroskop urin, kultur
    • Komplemen C3, C4, antinuklear antibodi, anti DNA antibodi, anti GBN antibodies, ANCA
    • Biopsi ginjal

PENGOBATAN (1,2,3,4,6,9)
Penanganan penderita GGK meliputi penanganan :
  • Penyakit yang mendasari
  • Keadaan sebelum mencapai gagal ginjal terminal
  • Gagal ginjal terminal
Penanganan penyakit yang mendasari misalnya pengobatan glomerulonefritis, reflux nefropati, uropati obstruktif, serta penyakit-penyakit sistemik yang mendasari.

Penanganan sebelum penderita mencapai gagal ginjal terminal meliputi :
  1. Pengobatan secara konservatif
a)      Pengobatan secara simptomatis, yaitu mengurangi gejala uremia seperti mual, muntah
b)      Mengusahakan kehidupan penderita menjadi normal kembali, sehingga dapat melakukan aktifitas seperti sekolah dan kehidupan sosial
c)      Mempertahankan pertumbuhan yang normal
d)      Menghambat laju progresifitas menjadi gagal ginjal terminal
e)      Mempersiapkan penderita dan keluarga untuk menjalani terapi pengganti ginjal misalnya dialisis, transplantasi ginjal
  1. Pemberian nutrisi
Pemberian nutrisi penting untuk memperbaiki nutrisi dan pertumbuhan penderita. Pemberian nutrisi pada GGK:
a)      Kalori yang adekuat mengacu pada recommended daily allowance (RDA) Tabel2.
b)      Protein yang diberikan harus cukup untuk pertumbuhan namun tidak memperberat keadaan uremia. Tabel2.
c)      Pemberian diet yang mengandung fosfat harus dibatasi untuk mencegah terjadinya hiperparatiroidism sekunder. Dianjurkan mempergunakan kalsium karbonat untuk mengikat fosfat.


Tabel 2.  Kebutuhan kalori dan protein yang direkomendasikan untuk anak dengan gagal ginjal kronik

Umur                Tinggi                Energi               Minimal Ca        P
                        ( cm)                 (Kkal)                protein(g)           (g)        (g)


 
0-12 bulan         55                     120/kg               2,2/kg              0,4        0,2
2-6   bulan         63                     110/kg               2,0/kg              0,5        0,4
6-12 bulan         72                     100/kg               1,8/kg              0,6        0,5
1-2 tahun           81                     1000                 18                     0,7        0,7
2-4 tahun           96                     1300                 22                     0,8        0,8
4-6 tahun           110                   1600                 29                     0,9        0,9
6-8 tahun           121                   2000                 29                     0,9        0,9
8-10 tahun         131                   2200                 31                     1          1
10-12 tahun       141                   2450                 36                     1,2        1,2
12-14tahun L     151                   2700                 40                     1,4        1,4
                   P    154                  2300                 34                     1,3        1,3
14-18tahun L    170                    3000                 45                     1,4        1,4
                   P    159                  2350                 35                     1,3        1,3
18-20tahun L    175                    2800                 4,2                    0,8        0,8
                  P    163                   2300                 33                     0,8        0,8


 

  1. Pemberian cairan dan elektrolit
Pengaturan cairan pada penderita GGK harus mengacu pada status hidrasi penderita. Dilakukan evaluasi turgor kulit, tekanan darah, dan berat badan. Pada penderita GGK dengan poliuria pemberian cairan harus cukup adekuat untuk menghindari terjadinya dehidrasi. Harus ada keseimbangan antara jumlah cairan yang dikeluarkan (urin, muntah, dan lain-lain) dengan cairan yang masuk. Pemberian cairan juga harus memperhitungkan insensible water loss. Pembatasan cairan biasanya tidak diperlukan, sampai penderita mencapai gagal ginjal tahap akhir atau terminal.
  1. Koreksi asidosis dengan pemberian NaHCO3 1-2 mmol/kg/hari peroral dalam dosis terbagi. Keadaan asidosis yang berlangsung lama akan mengganggu pertumbuhan. Pengobatan asidosis harus dimonitor. Dosis harus disesuaikan dengan analisis gas darah. Pada asidosis berat dilakukan koreksi dengan dosis 0,3 kgBB x (12 - HCO3- serum) mEq/L iv. Satu tablet NaHCO3 500 mg = 6 Meq HCO3-.
  2. Osteodistrofi ginjal
Osteodistrofi ginjal dapat dicegah dengan pemberian kalsium, pengikat fosfat serta vitamin D. Dosis kalsium yang sering digunakan 100-300 mg/m2/hari. Vitamin D yang sering digunakan 1,25 OHvitD3 (rocatrol) dengan dosis 0,25 μg/hari (15-40 ng/kgBB/hari).
  1. Hipertensi
Hipertensi pada GGK penyebabnya multifaktor. Pengobatan hipertensi meliputi non farmakologis yaitu diet rendah garam, menurunkan berat badan dan olah raga. Pengobatan farmakologis, obat yang sering dipergunakan yaitu : diuretik, calcium channel blocker, angiotensin receptor blocker, ACE (angiotensin converting enzym) inhibitor, beta blocker,agonis adrenergik alfa,vasodilator perifer.

Pengobatan hipertensi diawali dengan pemberian diuretik golongan furosemid 1-4 mg/kgBB/hari dibagi 1-4 dosis. Bila tidak berhasil dapat diberi antihipertensi calcium channel blocker ( nifedepin 1-2 mg/kg/hari dibagi 4 dosis ), ACE inhibitor ( kaptopril 0,3 mg/kg/kali diberikan 2-3 kali sehari), beta blocker (propanolol 1-10 mg/kg/hari), dan lain-lain. Pada hipertensi krisis dapat diberikan nifedipin secara sublingual 0,1mg/kg/kali maksimum 1 mg/kg/hari.
  1. Anemia
Pengobatan anemia pada GGK dengan pemberian recombinant hormon eritropoietin (EPO), bila Hb ≤ 10 g/dl, Ht ≤ 30% dengan dosis 50 unit/kgBB subkutan dua kali seminggu, dengan catatan serum feritin > 100 μg/L. Dosis dapat ditingkatkan sampai target haemoglobin 10-12 mg/dL tercapai. Selain itu pemberian asam folat diberikan pada penderita dengan defisiensi asam folat, dosis 1-5 mg/hari (selama 3-4 minggu). Penderita dengan dialisis diberi dosis rumatan 1 mg/hari.
  1. Gangguan jantung
Bila terjadi gagal jantung dan hipertensi, maka pengobatan diberikan furosemide secara oral atau intravena dan pemberian calcium channel blocker. Bila terjadi perikarditis dan uremia berat adalah indikasi dilakukan dialisis.
  1. Gangguan pertumbuhan
Evaluasi pertumbuhan penderita GGK terutama dibawah umur 2 tahun dengan melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar kepala secara teratur. Sehingga adanya gangguan pertumbuhan dapat segera diketahui. Pemberian nutrisi yang adekuat dapat mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan. Terapi dengan recombinant growth hormon (rhGH) dapat diberikan untuk mempercepat pertumbuhan dengan dosis 0,35 mg/kgBB atau 30 UI/m2 perminggu dibagi 7 dosis. Pemberian rhGH pada anak-anak masa pubertal menunjukkan hasil yang memuaskan daripada anak-anak usia pubertal.

Penanganan penderita dengan gagal ginjal terminal dengan melakukan terapi pengganti ginjal meliputi transplantasi ginjal dan dialisis.
a)      Transplantasi ginjal merupakan pilihan utama pada GGT. Namun sebelum dilakukan transplantasi ginjal sering penderita GGT harus menjalani dialisis terlebih dahulu. Transplantasi ginjal yang dilakukan tanpa dialisis disebut pre-emptive transplantation (1).
b)      Dialisis dilakukan pada penderita dengan indikasi sebagai berikut :
·        Gejala-gejala uremia yaitu letargi, anoreksia, muntah-muntah.
·        Hiperkalemia yang tidak respon dengan koreksi
·        Overload cairan
Ada 2 macam dialisis yaitu :
·        Peritoneal dialisis
·        Hemodialisis
Pada anak peritoneal dialisis lebih disukai daripada hemodialisis. Saat ini tindakan dialisis cenderung dilakukan lebih awal yaitu bila LFG kurang dari 15 mL/menit/1,73 m2 luas permukaan tubuh.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 427-46.
2.      Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal Ginjal Kronik. Dalam Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO Eds. Buku Ajar Nefrologi Anak 2nd ed. Bali penerbit FKUI Jakarta, 2002; 509-30.
3.      Fogo AB, Kon V. Pathophysiology of progressive renal disease. In Avner ED, Harmon WE, Niaudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1269-85.
4.      Kei-Chiu TN, Chiu MC. Pre-Renal Replacement Program : Conservative Management of Chronic Kidney Disease. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 247-52.
5.      Yap HK. Anemia, Renal Osteodystrophy, Growth Failure in Chronic Renal Failure. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005;   253-61.
6.      Winearls CG. Clinical Evaluation and Manifestation of chronic Renal Failure. In Johnson RJ, Feecally J Eds. Comprehensive Clinical Nephrology. Harcourt Publishers Limited London, 2000;  section 14. 68 : 1-14.
7.      Fine RN, Whyte DA, Baydstrun II. Conservative management of chronic renal insufficiency. In Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1291-305.
8.      Kuizon BD, Sausky IB. Renal Osteodistrophy. In Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1291-305.
9.      Goonasekera CDA, Dillon MJ. Thhe child with hypertension. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 151-61.

Selasa, 28 Agustus 2012

Psikososial GGK

Oleh : Dr.Andri,SpKJ (Psikiater)
PENDAHULUAN
Secara global terdapat 200 kasus gangguan ginjal per sejuta penduduk. 8 juta di antara jumlah populasi yang mengalami gangguan ginjal berada dalam tahap gagal ginjal kronis. Penelitian sebelumnya mengatakan terdapat hubungan antara mengalami gagal ginjal dengan timbulnya gangguan psikiatri pada pasien (Cohen et al., 2004). Kondisi ini bisa terjadi pada kasus gagal ginjal akut maupun yang kronis.
Penyakit apapun yang berlangsung dalam kehidupan manusia dipersepsikan sebagai suatu penderitaan dan mempengaruhi kondisi psikologis dan sosial orang yang mengalaminya. Akan tetapi petugas kesehatan sering kali cenderung memisahkan aspek biologis dari aspek psikososial yang dialami pasien (Leung, 2002).
Aspek psikososial menjadi penting diperhatikan karena perjalanan penyakit yang kronis dan sering membuat pasien tidak ada harapan. Pasien sering mengalami ketakutan, frustasi dan timbul perasaan marah dalam dirinya. (Harvey S, 2007). Penelitian oleh para profesional di bidang penyakit ginjal menemukan bahwa lingkungan psikososial tempat pasien gagal ginjal tinggal mempengaruhi perjalanan penyakit dan kondisi fisik pasien (Leung, 2002).
Kondisi yang telah disebutkan di atas yang membuat salah satu tugas perawat dialisis sebelum melakukan prosedur hemodialisis kepada pasien disarankan untuk menilai status kesehatan jiwa pasien yang akan dihemodialisis (Hudson et al, 2005).
JENIS GANGGUAN JIWA
Depresi
Depresi adalah kondisi gangguan kejiwaan yang paling banyak ditemukan pada pasien gagal ginjal. Prevalensi depresi berat pada populasi umum adalah sekitar 1,1%-15% pada laki-laki dan 1,8%-23% pada wanita, namun pada pasien hemodialisis prevalensinya sekitar 20%-30% bahkan bisa mencapai 47%. Hubungan depresi dan mortalitas yang tinggi juga terdapat pasien-pasien yang menjalani hemodialisis jangka panjang (Chen et al. 2010). Kondisi afeksi yang negatif pada pasien gagal ginjal juga seringkali bertumpang tindih gejalanya dengan gejala-gejala pasien gagal ginjal yang mengalami uremia seperti iritabilitas, gangguan kognitif, encefalopati, akibat pengobatan atau akibat hemodialisis yang kurang maksimal (Cukor et al.2007)
Pendekatan psikodinamik pada gangguan depresi adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan hilangnya sesuatu di dalam diri manusia tersebut. Hal ini disebut sebagai faktor eksogen sebagai penyebab depresinya. Kondisi gagal ginjal yang biasanya dibarengi dengan hemodialisis adalah kondisi yang sangat tidak nyaman. Kenyataan bahwa pasien gagal ginjal terutama gagal ginjal kronis yang tidak bisa lepas dari hemodialisis sepanjang hidupnya menimbulkan dampak psikologis yang tidak sedikit. Faktor kehilangan sesuatu yang sebelumnya ada seperti kebebasan, pekerjaan dan kemandirian adalah hal-hal yang sangat dirasakan oleh para pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis. Hal ini bisa menimbulkan gejala-gejala depresi yang nyata pada pasien gagal ginjal sampai dengan tindakan bunuh diri.
Kepustakaan mencatat bahwa tindakan bunuh diri pada pasien gagal ginjal kronis yang mengalami hemodialisis di Amerika Serikat bisa mencapai 500 kali lebih banyak daripada populasi umum. Selain tindakan nyata dalam melakukan tindakan bunuh diri, sebenarnya penolakan terhadap kegiatan hemodialisis yang terjadwal dan ketidakpatuhan terhadap diet rendah potasium adalah salah satu hal yang bisa dianggap sebagai upaya  “halus” untuk bunuh diri.
Sindrom Disequilibrium
Kondisi sindrom disequilibrium cukup sering terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis. Hal ini biasanya terjadi selama atau segera setelah proses hemodialisis. Kondisi ini disebabkan oleh koreksi berlebihan dari keadaan azotemia yang membuat ketidakseimbangan osmotik dan perubahan pH darah yang cepat. Kondisi ketidakseimbangan ini yang membuat adanya edema serebral yang menyebabkan timbulnya gejala-gejala klinik seperti sakit kepala, mual, keram otot, iritabilitas, agitasi, perasaan mengantuk dan kadang kejang. Gejala psikosis juga bisa terjadi. Sindrom disequilibrium biasa terjadi setelah 3 s.d. 4 jam setelah hemodialisis namun bisa juga terjadi 8-48 jam setelah prosedur itu dilakukan.
Demensia Dialisis
Demensia Dialisis juga dikenal dengan sebutan ensefalopati dialisis adalah sindroma yang fatal dan progresif. Pada prakteknya hal ini jarang terjadi dan biasanya terjadi pada pasien yang sudah menjalani dialisis paling sedikit satu tahun. Kondisi ini diawali dengan gangguan bicara, seperti gagap yang kemudian berlanjut menjadi disartria, disfasia dan akhirnya tidak bisa bicara sama sekali. Semakin lama kondisi ini semakin berat sampai berkembang menjadi mioklonus fokal maupun menyeluruh, kejang fokal atau umum, perubahan kepribadian, waham dan halusinasi.
Demensia dialisis disebabkan karena keracunan alumunium yang berasal dari cairan dialisis dan garam alumunium yang digunakan untuk mengatur level fosfat serum. Pencegahannya dengan menggunakan bahan dialisis yang tidak mengandung alumunium. Pada awalnya kondisi ini dapat kembali baik namun jika dibiarkan dapat menjadi progresif sampai dengan periode 1-15 bulan ke depan setelah gejala awal. Kematian biasanya terjadi dalam rentang 6-12 bulan setelah permulaan gejala.
FAKTOR PSIKOSOSIAL
Emosi
Perasaan takut adalah ungkapan emosi pasien gagal ginjal yang paling sering diungkapkan. Pasien sering merasa takut akan masa depan yang akan dihadapi dan perasaan marah yang berhubungan dengan pertanyaan mengapa hal tersebut terjadi pada dirinya. Ketakutan dan perasaan berduka juga kerap datang karena harus tergantung seumur hidup dengan alat cuci ginjal. Perasaan ini tidak bisa dielakan dan seringkali afeksi emosional ini ditujukan kepada sekeliling seperti pasangan, karyawan dan staf di rumah sakit. Kondisi ini perlu dikenali oleh semua orang yang terlibat dengan pasien.
Harga Diri
Pasien dengan gagal ginjal sering kali merasa kehilangan kontrol akan dirinya. Mereka memerlukan waktu yang panjang untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan apa yang dialaminya. Perubahan peran adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Sebagai contoh seorang pencari nafkah di keluarga harus berhenti bekerja karena sakitnya. Perasaan menjadi beban keluarga akan menjadi masalah buat individu ini.
Selain itu juga pasien sering kali merasa dirinya “berubah”. Adanya kateter yang menempel misalnya pada pasien dengan dialisis peritoneal, lesi di kulit, nafas berbau ureum dan perut yang membuncit membuat percaya diri dan citra diri pasien terpengaruuh.
Gaya Hidup
Gaya hidup pasien akan berubah. Perubahan diet dan pembatasan air akan membuat pasien berupaya untuk melakukan perubahan pola makannya. Keharusan untuk kontrol atau melakukan dialisis di rumah sakit juga akan membuat keseharian pasien berubah. Terkadang karena adanya komplikasi pasien harus berhenti bekerja dan diam di rumah. Hal-hal ini yang perlu mendapatkan dorongan untuk pasien agar lebih mudah beradaptasi.
Fungsi Seksual
Fungsi seksual pada pasien yang mengalami gagal ginjal akan sering terpengaruh. Hal ini bisa disebabkan karena faktor organik ( perubahan hormonal atau karena insufisiensi vaskuler pada kasus gagal ginjal dengan diabetes), psikososial (perubahan harga diri,citra diri dan perasaan tidak menarik lagi) atau masalah fisik (distensi perut, perasaan tidak nyaman dan keluhan-keluhan fisik akibat uremmia). Masalah pengobatan yang mengganggu fungsi seksual juga bisa menjadi masalah.
INTERVENSI PSIKOSOSIAL
Intervensi psikososial harus dilakukan sedini mungkin sejak diagnosis gagal ginjal ditetapkan. Hal ini juga membutuhkan usaha yang terus menerus untuk membuatnya tetap berjalan.
Implikasi Keperawatan
Gagal ginjal kronis mempunyai karakteristik penurunan kondisi yang cepat. Bantuan keperawatan dalam bidang psikososial harus berusaha memfasilitasi penyesuaian perubahan akibat sakit yang dialami. Perawat juga perlu memperbaiki interaksi sosial dan gaya hidup dengan mencegah kondisi sakit yang lebih jauh, mengontrol gejala dan menjadikan hemodialisis menjadi bagian dari kehidupan normal sehari-hari. Pengetahuan pasien yang baik tentang penyakit yang dideritanya akan mengurangi kecemasan pasien. Hal ini yang membuat sangat penting bagi perawat untuk mempunyai keahlian dalam menyediakan informasi yang jelas demi membantu pasien untuk menentukan tujuan dari perawatan dan membantu pemecahan masalah untuk kemampuan fungsional fisik yang lebih baik.
Penilaian Kondisi
Penilaian kondisi pasien akan menentukan kebutuhan pasien, mengidentifikasi masalah dan masalah-masalah yang menjadi potensial untuk timbul serta mengumpulkan informasi untuk rencana pengobatan sehingga bantuan yang sesuai bisa diberikan. Penilaian ini berfokus pada efek sakit terhadap pasien. Beberapa informasi berguna termasuk gaya hidup, pola kehidupan sehari-hari, kekuatan kepribadian dan minat, cara adaptasi sehari-hari, pengertian akan penyakit saat ini, persepsi terhadap pengobatan yang diberikan, tekanan hidup atau perubahan belakangan ini dan beberapa masalah yang terkait dengan penyakit. Dengan mendengarkan pasien dan keluarga dalam diskusi, perawata bisa mengidentifikasi masalah-masalah psikososial yang terkait denga penyakit dan kebutuhan akan bantuan. Di waktu yang sama informasi tentang pengobatan yang dilakukan dan bagaimana kondisi harapan dari sakit yang diderita bisa dijelaskan.
Membesarkan Hati
Peran dari tenaga kesehatan adalah membesarkan hati dan jika mungkin membuat pasien mampu menerima tanggung jawab akan kesehatan dan kebahagiaan serta mampu mengisi tanggung jawab mereka di keluarga dan masyarakat. Pada kondisi ini perawat dapat membesarkan hari pasien untuk menerima keterbatasan pribadi akibat kondisi sakit dan pengobatannya. Kondisi-kondisi seperti ini yang bisa memberikan persesi positif dan pengertian di antara pasien dan petugas kesehatan.
Peningkatan Kualitas Hidup
Pasien dengan karakter dependen atau tergantung mungkin beradaptasi dengan terapi lebih mudah, namun ketergantungan yang berlebihan dapat menciptakan permintaan yang esktrim kepada pengasuh dan dapat menghambat rehabilitasi. Beberapa pasien mungkin mendapatkan “secondary gain” dari penyakit yang diderita dan beberapa yang lainnya menikmati peran menjadi pasien. Perawat dapat memfasilitasi adaptasi pasien terhadap hal-hal yang dibutuhkan sehubungan dengan perawatan dengan memaksimalkan kekuatan pasien dan mendorong pasien lebih baik lagi. Terapi yang lebih bersifat individu dan meminimalkan kompleksitasnya dapat membantu perilaku yang lebih menurut. Penilaian, edukasi, motivasi, pemberian dukungan, membesarkan hati, mengajarkan cara membantu diri sendiri dan memonitor diri sendiri akan membuat pada akhirnya peningkatan kepatuhan pasien dan pasien mampu hidup dengan kondisi kronis yang dialaminya.
Jika dalam program rehabilitasi terdapat kelompok-kelompok suportif seperti latihan fisik bersama, program edukasi bersama atau kegiatan bersama lainnya maka hal ini akan membuat pasien lebih nyaman. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan kebersamaan dengan orang yang senasib dan adanya penghargaan sosial serta apresiasi dari rekan senasib. Kegiatan ini bisa membuat isolasi pasien terhadap lingkungan berkurang. Pada akhirnya kegiatan-kegiatan ini sangat berkontribusi dengan peningkatan kepatuhan pasien dalam proses terapi.
PERAN KELUARGA
Anggota keluarga memerankan hal yang penting dalam kesejahteraan pasien. Mereka tidak boleh dikesampingkan dalam proses penanganan pasien. Perubahan pola kehidupan keluarga mungkin diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pasien. Pasien dan keluarga harus dibantu untuk menceritakan perasaan mereka dalam suatu hubuungan saling percaya agar dapat menyesuaikan dengan proses adaptasi dari sakit pasien. Penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa perasaan bersalah, kesedihan dan kehilangan yang sangat dan sering terjadi pada pasangan pasien.
Edukasi dan informasi yang adekuat bagi pasien dan keluarga tentang penyakit yang dialami dan perjalanan penyakit akan sangat penting dan harus dimulai sejak sebelum memutuskan untuk melakukan dialisis.
PERAN PETUGAS KESEHATAN
Petugas kesehatan yang berkecimpung dalam bidang ini, dokter spesialis, dokter jaga, perawat dan staf lainnya bisa mempengaruhi dan dipengaruhi secara negatif maupun positif jika berhubungan dengan pasien gagal ginjal. Adanya harapan hidup dengan program rehabilitasi akan membuat sikap positif dari para petugas kesehatan yang terlibat. Hal ini berhubungan dengan keteraturan berobat, latihan dan perawatan diri. Namun demikian sering terjadi petugas kesehatan menjadi sangat tidak nyaman karena perilaku yang sulit dari pasien, penurunan kondisi pasien pada pasien yang hubungan rapport telah terbina baik dan kegagalan terapi.
Terjadinya kecemasan berkaitan dengan tuntutan kerja dan distres spiritual akibat kesulitan menemukan arti atau tujuan dari kehidudapan pribadi dan profesional seringkali dikatakan oleh petugas kesehatan. Petugas kesehatan yang terlibat dalam tim bisa diberikan kesempatan untuk menilai penyebab stres, membangun ide-ide, membagikannya dengan sejawat dan menciptakan kesempatan untuk saling menghormati dan memberikan dorongan kepada anggota yang lain. Cara lain untuk mengganti perhatian dari stres ke hal lain adalah mencari hal-hal yang lucu dalam pengalaman kerja, belajar dari pasien untuk menerima keterbatasan dan untuk mengambil waktu yang sesuai lepas dari pekerjaan untuk bermain dan beristirahat.
KESIMPULAN
Perawat yang bekerja di unit gagal ginjal sering dihadapkan pada pasien yang mengalami problem psikososial dan perilaku. Membangun kemampuan untuk mengenali dan beradaptasi dengan masalah-masalah itu adalah sesuatu yang diperlukan. Sering kali intervensi psikosial tidak bekerja karena keterbatasan dari segi perawat. Untuk itu perawat diharapkan dapat belajar cara-cara mengatasi masalah psikosial yang terjadi di unitnya masing-masing baik yang dialami pasien, keluarga maupun petugas di dalam unit itu sendiri.
KEPUSTAKAAN
  • Burrows-Hudson, S., Prowant, B. American Nephrology Nurses Association Nephrology Nursing Standards of Practice and Guidelines for Care. (2005). Pp.71-72

  • Chen CK, Tsai YC, Hsu HJ, Wu IW, Sun CY, Chou CC, et al. in Depression and Suicide Risk in Hemodialysis Patients With Chronic Renal Failure. Psychosomatics 2010; 51:528–528.e6

  • Cukor D, Coplan J, Brown C, Friedman S, Cromwell-Smith A, Peterson RA, Kimmel PL. In Depression and Anxiety in Urban Hemodialysis Patients. Clin J Am Soc Nephrol 2007; 2: 484-490

  • Leung DKC. Psychosocial aspect in renal patients. Proceedings of the First Asian Chapter Meeting — ISPD. December 13 – 15, 2002, Hong Kong Peritoneal Dialysis International, Vol. 23 (2003), Supplement 2

  • Levenson JL, Owen JA. Renal and Urological Disorder in Clinical Manual of Psychopharmacology in the Medically Ill.

  • Harvey S. Mental health issues in dialysis care. Presentation 2002.
Catatan : Makalah ini dipresentasikan pada acara Jakarta Nephrology Nursing Symposium “Peran Perawat Ginjal dalam Mengoptimalkan Kualitas Hidup Pasien Dialisis” 8 Juli 2012 di Hotel Ciputra, Jakarta
1341726383350492232

Kurangi Transfusi

 
 
Efek samping yang ditimbulkan akibat transfusi darah terus menerus pada pasien hemodialisis kini teratasi dengan pemberian hormon eritropoietin. Sayangnya, terapi ini masih sangat mahal
 
Gejala anemia, merupakan keluhan yang sering muncul pada pasien gagal ginjal kronik atau pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. Sampai saat ini, prinsip terapi anemia akibat kondisi penyakit di atas adalah dengan transfusi sel-sel darah merah dan pemberian hormon testosteron. Meskipun transfusi dalam waktu singkat mampu meningkatkan jumlah sel darah merah, namun pengulangan transfusi menimbulkan berbagai masalah baru, termasuk menumpuknya zat besi, berkembangnya antibodi tertentu, dan terbukanya kemungkinan infeksi virus. Testosteron juga mampu menstimulasi produksi sel darah merah oleh sumsum tulang belakang, namun efeknya cenderung tidak dramatis bahkan  penggunaan hormon ini sering menibulkan efek samping yang berkaitan dengan kejantanan.
Sejak awal 90-an, mulai dikenalkan pemberian Recombinant human erythropoietin (EPO) untuk terapi anemia pada pasien gagal ginjal kronis yang harus menjalani hemodialisis. EPO tergolong hormon glikoprotein yang merupakan sitokin eritrosit, atau bentuk awal sel darah merah di sumsum tulang belakang. Sebagai agen terapi, EPO pertama kali diisolasi dan dimurnikan dari urin di tahun 1977. Tahuan 1983, gen eritropoietin diisolasi dan dikloning. Hal ini mendorong produksi hormon ini dalam jumlah besar hingga akhirnya berujung pada penggunaan untuk pasien gagal ginjal di tahun 1990. Untuk kondisi ini, EPO diberikan baik melalui intravena saat proses dialisis maupun diberikan secara subkutan.
Terapi dengan EPO saat ini merupakan hal yang paling mungkin dilakukan sebagai alternatif pengganti transfusi. Pada awalnya, studi percobaan yang sudah dilakukan menduga kalau usaha mengatasi anemia pada pasien gagal ginjal kronik bisa jadi akan merugikan karena akan mempercepat progresivitas gagal ginjal. Namun kini meskipun pengalaman klinis penggunaan agen ini masih sangat diperketat terutama untuk pasien penyakit ginjal tahap akhir, beberapa studi terkini sudah dilaporkan dan hasilnya ternyata positif. Review dari berbagai studi sebagian besar menyimpulkan bahwa penggunaan EPO terbukti menguntungkan dan bisa ditolerir dengan baik tanpa ada efek terhadap progresivitas gagal ginjal.
Pasa pasien anemia karena gagal ginjal kronik, terapi dengan eritropoietin kini sudah menjadi praktik standard dan secara dramatis mampu menurunkan kebutuhan akan transfusi darah. Kenaikan hematokrit terlihat pada pasien yang diterapi dengan eritropoietin, dan secara umum menyebabkan perbaikan dalam stamina. Pemberian eritropoeitin juga bisa ditolerir dengan  baik. Namun satu hal yang penting dalam penggunaan hormon ini adalah memonitor status zat besi pasien. Pasien yang mngalami defisiensi zat besi berarti tidak cukup merespon pemberian eritropoietin.
Salah satu studi penggunaan EPO dilakukan oleh Urabe dkk dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Tokyo, Jepang. Mereka merekrut orang normal dan pasien anemia akibat gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis sebagai subjek studi. EPO dosis 300 U/kg diberikan intravena pada setiap orang normal dalam studi Fase I. Hasilnya, tidak ada perubahan baik subjektif maupun objektif.
Pada studi Fase II, sebanyak 66 pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dengan kadar hematokrit kurang dari 20%, diberi EPO dosis 50 U/kg hingga 200 U/kg dua atau tiga kali seminggu. Ternyata hematokrit meningkat secara signifikan dalam waktu 12 minggu, dan kondisi pasien membaik. Pasien yang sebelumnya selalu membutuhkan transfusi darah menjadi terbebas dari rutinitas ini selama masa studi. Tidak ada efek samping yang jelas yang mengindikasikan tingkat efikasi dan keamanan eritropoietin untuk terapi anemia akibat gagal ginjal kronik.
Sayangnya meski sangat menguntungkan, terapi dengan eritropoietin masih sangat mahal. Beberapa suntikan dibutuhkan setiap minggunya untuk EPO dalam formula aslinya, namun untuk EPO dengan formulasi aksi panjang (long-acting), cukup sekali suntikan setiap dua minggu. Semua bentuk EPO dalam berbagai formulasi masih mahal. Di Amerika Sikat, pasien dialisis yang menggunakan EPO seumur hidupnya harus mengeluarkan dana sekitar 10.000 dolar per tahun. Pasien kemoterapi yang notabene membutuhkan EPO dalam waktu relatif singkat dibandingkan pasien dialisis, harus merogoh kantong sekitar 1.000 dolar per bulan.

Seperti tercetak di Majalah Farmacia Edisi Maret 2007 , Halaman: 26 (2975 hits)

Mengenal Hemodialisa




 Mungkin anda sudah pernah mendengar tentang hemodialisa atau yang lebih dikenal awam dengan cuci darah. Tapi apa sebenarnya hemodialisa itu? Bagaimana proses hemodialisa sebenarnya? Amankah untuk dilakukan terus menerus?
Apa itu hemodialisa?
Hemodialisa adalah metode pencucian darah dengan membuang cairan berlebih dan zat-zat yang berbahaya bagi tubuh melalui alat dialysis untuk menggantikan fungsi ginjal yang rusak. Kapan saya harus melakukan hemodialisa?
Hemodialisa dilakukan bila ginjal anda sudah tidak mampu melaksanakan fungsinya atau biasa disebut dengan gagal ginjal. Gagal ginjal dapat dibagi dua yaitu gagal ginjal akut dimana fungsi ginjal terganggu untuk sementara waktu sehingga hemodialisa dilakukan hanya hingga fungsi ginjal membaik dan gagal ginjal kronis dimana fungsi ginjal rusak secara permanen akibatnya hemodialisa harus dilakukan seumur hidupnya.
Mengapa hemodialisa ini penting?
Ginjal merupakan organ vital yang berfungsi membersihkan darah kita dari cairan berlebih, zat-zat sisa yang berbahaya dan elektrolit berlebih. Ginjal juga berfungsi menghasilkan hormone yang penting dalam proses metabolism tubuh dan merangsang pembentuk sel darah merah. Jika ginjal ini rusak maka bisa dibayangkan bahayanya bagi tubuh kita bahkan bisa menyebabkan kematian akibat menumpuknya cairan dan zat berbahaya dalam tubuh, karena itulah hemodialisa harus dilakukan untuk menggantikan fungsi ginjal tersebut.
Bagaimana hemodialisa bekerja?
Pertama kita harus mempersiapkan pembuluh darah sebagai akses masuknya selang dari alat dialysis. Pembuluh darah yang digunakan ada dua yaitu arteri sebagai akses keluarnya darah kotor ke dalam mesin dan vena sebagai jalan masuknya darah bersih dari mesin ke dalam tubuh. Melalui jarum maka selang dimasukkan ke dalam pembuluh darah. Biasanya anda akan diberikan bius local untuk mengurangi nyerinya. Pembuluh darah yang digunakan biasanya yang berukuran besar misalnya di daerah pangkal paha, daerah lengan dll. Pembuluh darah ini akan digunakan secara bergantian untuk mencegah mengerasnya pembuluh darah yang akhirnya nanti tidak bisa digunakan kembali.

Tentu anda akan bertanya ”bagaimana dengan orang yang harus melakukan hemodialisa seumur hidupnya,  apakah tidak ada cara yang lebih praktis?”. Anda tidak perlu khawatir, karena ada cara baru untuk membuat akses yang permanen bagi pembuluh darah yaitu dengan membuat anatomosis antara arteri dan vena yang biasa disebut dengan Cimino-Breschia fistula atau dengan menghubungkan arteri dengan vena lewat pembuluh darah tambahan (graft). Daerah yang dipilih biasanya pembuluh darah di lengan bawah. Dengan cimino, anda hanya perlu menggunakan satu akses setiap kali  melakukan hemodialisa hanya saja anda perlu menunggu 2-6 minggu hingga luka operasi sembuh dan cimino bisa digunakan. Cimino ini bisa bertahan selama 3 tahun untuk kemudian harus dicari pembuluh darah yang lain.

Setelah akses didapatkan, maka proses hemodialisa akan dilakukan. Hemodialisa dilakukan dengan alat yang disebut dialyzer. Mesin akan memompa darah kita keluar dari tubuh secara sedikit demi sedikit untuk kemudian dicuci dalam dialyzer ini. Dialyzer merupakan alat seperti filter dengan ribuan serat halus yang akan menyaring semua zat berbahaya, cairan dan elektrolit berlebih. Di dalam dialyzer terdapat cairan khusus yang disebut dialysate yang mengandung cairan dan formula khusus yang berfungsi menyerap zat yang tidak perlu dan menambahkan zat atau mineral atau elektrolit yang kurang. Komposisi dialysate dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaan cairan dan darah anda saat melakukan hemodialisa. Karena itulah setiap kali akan melakukan hemodialisa anda akan melalui pemeriksaan darah terlebih dahulu dulu untuk melihat komposisi elektrolit dan berbagai komponen kimia darah dalam tubuh saat itu.

Setelah selesai disaring, maka darah yang sudah bersih akan dipompa kembali ke dalam tubuh. Proses ini akan diulang berkali-kali hingga seluruh darah berhasil disaring.
Proses hemodialisa ini dapat dilihat dalam video berikut ini http://www.youtube.com/watch?v=x_ra9YUX9fk
Berapa lama proses hemodialisa berlangsung?
Rata-rata tiap orang memerlukan waktu 9 – 12 jam dalam seminggu untuk mencuci seluruh darah yang ada, tetapi karena ini waktu yang cukup panjang, maka biasanya akan dibagi menjadi tiga kali pertemuan dalam seminggu selama 3-5 jam setiap kali hemodialisa.

Tentu saja ini tidak sama untuk tiap orang, lamanya waktu yang dibutuhkan dan berapa kali dalam seminggu harus dilakukan hemodialisa sangat tergantung pada derajat kerusakan ginjal, diet sehari-hari, penyakit lain yang menyertai, ukuran tubuh dll. Karena itu penting untuk konsultasi secara teratur pada dokter yang menangani anda mengenai jadwal hemodialisa anda.

Apa komplikasi yang dapat muncul selama hemodialisa?
-          Hipotensi : ini paling sering pada pasien gagal ginjal dengan diabetes mellitus atau kencing manis tapi seiring dengan kemajuan teknologi, resiko ini semakin berkurang.
-          Kram otot. Dulu hal ini sering terjadi tetapi dengan mesin dialysis sekarang angka kejadiannya berkurang.
-          Reaksi anafilaktik atau alergi terhadap cairan dialysate. Biasanya ini terjadi pada hemodialisa pertama kalinya tapi akan berkurang seirirng seringnya hemodialisa dilakukan.
-          Selain itu anda dapat merasa mual, mengantuk, lelah, pusing, dan dingin selama proses hemodialisa dilakukan. Beritahukanlah pada staf yang bertugas agar mereka dapat membantu anda merasa lebih baik.
Apakah saya harus melakukan hemodialisa seumur hidup saya?
Bila anda belum bisa melakukan transplantasi ginjal untuk menggantikan ginjal anda yang rusak maka anda harus melakukan hemodialisa seumur hidup anda.
Apa saja yang harus saya lakukan selama menjalani proses hemodialisa?
  1. Anda tentu saja harus melakukan hemodialisa secara teratur dan sesuai jadwal agar tercapai hasil yang maksimal.
  2. Lakukanlah check up secara teratur dengan dokter yang menangani anda.
  3. Diet dan cairan yang tepat (dibahas pada artikel lainnya).
  4. Melakukan pengontrolan yang ketat terhadap penyakit lain yang menyertai keadaan gagal ginjal misalnya kontrol gula darah pada diabetes, kontrol tekanan darah pada hipertensi  dan kontrol lainnya.
  5. Melakukan transfusi darah atau Recombinant human erythropoietin (EPO) untuk mengatasi anemia yang terjadi karena hemodialisa tidak bisa menggantikan fungsi ginjal dalam menghasilkan hormone yang merangsang pembentukkan sel darah merah.

Waspadalah dan segera konsultasi ke dokter bila anda mengalami :
-          Bengkak pada seluruh tubuh
-          Tekanan darah yang tinggi
-          Rasa lelah yang berlebihan dan tubuh terasa sangat lemas
-          Insomnia atau sulit tidur di malam hari
-          Mual dan muntah yang hebat
-          Rasa gatal pada seluruh tubuh tanpa sebab yang jelas
-          Kejang berulang atau kram pada otot terutama otot kaki
-          Kesadaran yang menurun
Karena ini adalah tanda kegagalan fungsi ginjal dan perlunya hemodialisa segera.
Jadi apakah hemodialisa ini aman ? Selama dilakukan oleh tenaga terlatih dan di tempat dengan fasilitas sesuai maka hemodialisa ini aman untuk anda.
~
Ditulis oleh:  dr. Hygiena Kumala Suci
~
Sumber :
kidney.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/hemodialysis/
http://www.medicinenet.com/hemodialysis/article.htm
Dennis L. Kasper, Eugene Braunwald, Anthony Fauci, Stephen Hauser, Dan Longo, J. Larry Jameson. 2004. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition. USA: McGraw-Hill Professional
The Ohio State University Medical Center, Mount Carmel Health and OhioHealth, Columbus, Ohio. Available for use as a public service without copyright restrictions at www.healthinfotranslations.org.